Cerita Mudik Nenek Iyem, Pulang untuk Ingat Masa Susah

Gilang Fauzi | CNN Indonesia
Senin, 13 Jul 2015 13:41 WIB
Ada cerita yang tak pernah didapat Mbok Iyem di kampung halaman ketika pertama kali menginjakan kaki di Jakarta tahun 2000.
Calon pemudik menunggu pintu masuk dibuka di Stasiun Kereta Api Senen, Jakarta, Kamis, 9 Juli 2015. Puncak arus mudik penumpang yang menggunakan kereta api di Stasiun Senen, Jakarta Pusat, diprediksi mulai H-5 hingga H-1. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mbok Iyem (65) mengibaratkan mudik sebagai napak tilas mengarungi jalan penderitaan. Bukan lantaran harus berebut tiket angkutan umum atau berhimpitan dalam macet ribuan kendaraan. Lebaran bagi Iyem jadi semacam momentum untuk mengenang saat hidup susah di tanah kelahiran, Ngawi, Jawa Timur.

"Dulu saya kerja nyawah. Hidup melarat di kampung," kata Iyem saat menunggu panggilan keberangkatan di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Kamis (9/7).
Tahun ini merupakan mudik ke-15 bagi Iyem. Selama 15 tahun pula Iyem menyambung hidup sebagai pembantu rumah tangga seorang presenter televisi swasta nasional. Dia pergi dari kampung setelah ditinggal wafat suaminya yang menyisakan tiga tanggungan anak.

Setiba di Jakarta tahun 2000, Iyem mendapati kehidupan Ibu Kota penuh ingar bingar. Derasnya informasi di Jakarta bercampur aduk dengan euforia reformasi kemajuan zaman. Hal itu tidak dia dapatkan di Ngawi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Iyem  tidak menyesali keputusan meninggalkan kampung halaman. Kerja di Jakarta lebih pasti menghasilkan uang. Terlebih dia bersyukur punya keluarga majikan yang tak pernah bawel.

Tapi setinggi terbang bangau akhirnya kembali juga ke telaga. Mudik jadi kesempatan bagi Iyem berkumpul dengan tiga anaknya yang belakangan ikut berkelana. Si sulung kerja di perkebunan sawit Papua, anak penengah kerja di Jakarta, sementara bungsu masih setia menjaga rumah di Ngawi.

“Biasanya kami nyekar. Tapi intinya temu kangen sama keluarga yang lain,” kata Iyem bersama enam bungkus besar barang bawaan yang setia dia jaga dalam batas jangkauan tangan.

Perantau seperti Iyem senantiasa menjadikan kampung halaman sebagai bagian dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, Iyem hanyalah satu dari ratusan ribu penumpang kereta lainnya yang meramaikan arus mudik lebaran. Jumlah itu belum termasuk 6 juta penduduk Jakarta yang menyesaki ruas jalanan Pulau Jawa dengan ragam moda transportasi.

Hanya Idul Fitri di Indonesia yang bisa membuat kaum urban berhamburan angkat kaki dari pusat peraduan, hingga menyisakan kekosongan kota metropolitan. Sampai tahap ini, warga Ibu Kota yang tersisa bisa sedikit bernapas lega tanpa kontaminasi hiruk pikuk dan kepadatan lalu lintas.

Situasi tahunan itu dirasakan betul oleh Lutfi, pemuda 27 tahun asal Ragunan yang mengaku punya darah keturunan Betawi. Hampir di sepanjang hidupnya, Lutfi menghabiskan lebaran di rumah kakek dari ibu yang lahir dan dibesarkan di tanah Ragunan.

Semasa kecil, keluarga Lutfi biasa menyambangi Monas untuk mengisi hiburan sekaligus memanfaatkan lumpuhnya aktivitas perkantoran --meski tidak semua. Di tugu berpucuk lapis emas itu, Lutfi mendapati dirinya berkumpul dengan banyak keluarga lain yang tidak mudik, atau justru mungkin sedang bermudik di Jakarta. Mereka berlibur di kota yang hampir separuh penghuninya memilih pulang ke kampung asal.

"Sekarang saya mikir, aneh juga rasanya tiap tahun cuma bisa lihat orang-orang heboh ingin pulang kampung. Padahal mungkin lebarannya enggak bahagia-bahagia amat. Tapi mending mudik daripada melongo di sini (Jakarta)," ujar Lutfi.

Bagaimanapun, Lutfi setidaknya pernah merasakan euforia eksodus ribuan pemudik yang meninggalkan Jakarta saat lebaran tiba. Dia sempat dua kali merasakan mudik lantaran punya nenek dari Kuningan yang telah melahirkan ayahnya. Terakhir kali dia mudik delapan tahun lalu. Kini setelah beranjak makin dewasa, Lutfi mengaku seperti "penghuni yang ditinggalkan" saat lebaran.

Ada sikap dilematik yang ditunjukan Lutfi saat menghadapi momentum lebaran. Ketika merayakan Idul Fitri di tanah kelahiran buyutnya di Ragunan, Lutfi tidak menganggap itu sebagai mudik, alias kembali ke udik. Mudik di mata Lutfi adalah sebuah aktivitas perayaan yang dilakukan di wilayah yang kental dengan kultur kedaerahan --sebagaimana yang dia rasakan ketika berlebaran di Kuningan.

Definisi kampung dan kota pada akhirnya mengalami perluasan makna. Mudik dalam pengertian lain memberi pemahaman bahwa kota-kota besar seperti Jakarta telah tumbuh dan berkembang menjadi peradaban yang multikultur. Mereka yang terlahir di Jakarta tetap tidak bisa melepas ikatan sejarah orang tua atau kakek buyutnya yang pernah dibesarkan di kampung asal.

Ragam kultur kota metropolitan telah membuat saru identitas warganya. Terlebih kini bukan perkara sulit untuk menjadi orang Jakarta. Bahkan Mbok Iyem telah secara otomatis menyandang status itu setiap kali mendapat sambutan kedatangan di Ngawi: "Wah, ada orang Jakarta pulang."

Tentu saja Iyem sebelumnya tidak pernah membayangkan bakal jadi warga kota yang menjadi pusat perhatian jutaan penganggur di Indonesia. Di Jakarta pula para pemburu harta mati-matian mempertahankan kemaslahatan hidupnya.

Pulang kampung saat mudik pada akhirnya menjadi simbol dari idul fitri itu sendiri, yakni kembali ke fitrah dengan cara melupakan urusan duniawi perkotaan. Ketika itulah kota bisa benar-benar beristirahat, sebelum akhirnya kembali dipadati oleh rombongan kaum urban yang jauh lebih dahsyat jumlahnya dalam arus balik lebaran. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER