Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengutuk keras insiden pembakaran musala di Kabupaten Tolikara, Papua, hingga mengakibatkan umat muslim batal menjalankan Salat Idul Fitri. Ketua MUI Din Syamsuddin menyebut, insiden tersebut merupakan salah satu bukti nyata bahwa toleransi beragama memang masih rendah.
Apalagi menurut Din, tindakan tersebut mengatasnamakan agama dan menyerang kelompok agama lain. "Kita tak perlu berteori yang banyak, yang jelas ini bentuk ekstrimisme yang nyata. Ini juga bukti bahwa toleransi beragama kita masih rendah," ujar Din di Jakarta hari ini, Ahad (19/7).
Menurut Din, setiap umat beragama seharusnya jangan sampai menyinggung kebebasan umat beragama lain. Namun atas insiden Tolikara yang sudah terjadi, Din meminta kepolisian untuk mengusut tuntas kasus itu sehingga tidak terjadi lagi di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam insiden ini, Din menolak jika penyerangan dan pembakaran itu dilakukan oleh oknum tertentu. "Ini sebuah ekstrimisne yang bertingkat,
double atau
triple extremism," katanya.
Kendati demikian, Din meminta agar umat muslim jangan terprovokasi hingga ingin melakukan pembalasan terhadap agama para pelaku. Umat muslim juga diminta untuk tidak memberikan stigma terhadap umat Kristiani.
Perda Keagamaan
Insiden di Tolikara membuat Din menilai bahwa peraturan daerah memang dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bersama dalam beragama. Namun yang harus dilakukan pemerintah hanya sebatas pada mengatur, tanpa melakukan intervensi lebih jauh terhadap akidah para pemeluk agama.
"Kita beri tugas pada negara untuk mengatur kehidupan bersama, tapi yang tak boleh diintervensi adalah keyakinan atau akidah karena itu adalah hak," kata Din.
Selama peraturan yang dibuat hanya mengatur soal pola kehidupan beragama demi ketertiban, Din mendukung peraturan tersebut. Kalau perlu,aturan tersebut dibuat tak hanya di tingkat pusat tapi juga hingga mencapai tingkat paling bawah.
"Tak perlu ada klaim ini daerah Qurani atau Injili, tapi produk hukum itu berkeadilan untuk mengatur semua agar tidak ada kekerasan," ujarnya.
Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Lenis Kogoya, sebelumnya mengimbau masyarakat memperhatikan agenda nasional sebelum menghelat sebuah keigatan. Hal ini penting untuk menghindari kekisruhan seperti yang terjadi di Kabupaten Tolikara saat Hari Raya Idul Fitri, Jumat lalu (17/7).
Menurut Lenis, tanggal 17 Juli 2015 telah ditetapkan pemerintah sebagai Hari Raya Idul Fitri yang merupakan agenda nasional. Jika ada masyarakat yang hendak menggelar kegiatan lain, dia meminta agar disesuaikan dengan agenda nasional tersebut.
"Ini yang penting. Kalau tanggal 17 Juli atau 25 Desember itu hari nasional, maka tidak boleh ada kegiatan lain," kata dia.
Diberitakan sebelumnya, terjadi serangan terhadap jemaah yang hendak melaksakan salat Idul Fitri, Jumat (17/7). Penyerangan membuat jemaah Salat Id menyelamatkan diri. Dalam upaya pengamanan, petugas menembak tiga orang pelaku penyerangan yang tidak mengindahkan peringatan petugas.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti hari ini telah mendatangi tempat kejadian perkara di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara. Badrodin menegaskan, pelaku pembakaran kios dan musala serta pelaku penembakan akan diproses secara hukum.
Hingga saat ini, tim penyelidik dan penyidik dari Polda Papua telah memeriksa 15 orang saksi untuk kasus pembakaran, serta lima orang saksi untuk insiden penembakan.
(rdk)