Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana Wakil Presiden Jusuf Kalla membentuk tim pemantau kaset pengajian di masjid-masjid mengundang reaksi negatif dari kalangan DPR. Ketua Komisi Agama DPR Saleh Partaonan Daulay mengkritik tajam pembentukan tim tersebut.
Mantan ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah itu meminta Jusuf Kalla memberi klarifikasi atas rencana pembentukan tim itu seperti yang disampaikan oleh Husein Abdullah selaku juru bicara Wakil Presiden. “Pak JK selaku Wakil Presiden perlu memberi penjelasan, klarifikasi,” tutur Saleh kepada CNN Indonesia, Ahad (26/7).
Saleh menyatakan pemerintah lebih baik membentuk tim pemantau fakir miskin daripada pemantau kaset pengajian di masjid. “Memelihara fakir miskin dan orang-orang terlantar adalah amanat konstitusi yang harus dilaksanakan oleh negara,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, lanjut dia, memantau kaset pengajian di masjid tidak ditemukan ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Kalau negara tidak memantau dan memelihara fakir miskin berarti bisa melanggar konstitusi. Hal tersebut ada ketentuannya dalam Pasal 34 UUD 1945. “Kalau kaset pengajian di masjid biarlah diurus oleh marbot dan takmir masjidnya,” tutur Saleh.
Menurut Saleh, kalaupun suara kaset pengajian dinilai berpotensi menimbulkan ketidaknyaman sosial namun faktanya hingga hari ini belum terbukti benar. “Kasus Tolikara saja masih simpang siur informasinya. Bahkan ada yang berpendapat kasus itu bukan karena pengeras suara di masjid,” ucap dia.
Jadi, dia menegaskan, terlalu repot kalau wakil presiden mengurusi kaset pengajian. “Kan masih banyak urusan lain yang lebih mendesak dan yang lebih penting,” ujar Saleh.
Sebagai gantinya, menurut Saleh, sebaiknya wakil presiden lebih fokus menangani peningkatan kinerja Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Apalagi tim itu berada di bawah kantor wakil presiden. Selain itu, soal kemiskinan bukan hanya terkait satu agama tertentu tetapi juga menyangkut seluruh anak bangsa.
Saleh menambahkan, imbauan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) agar masjid-masjid tak menyetel kaset pengajian dengan suara keras sulit dipenuhi oleh para pengurus masjid. “Pengurus-pengurus masjid akan mengacu pada induk organisasinya masing-masing, misalnya Muhammadiyah, NU atau Persis,” kata dia.
DMI, menurut Saleh, belum bisa melaksanakan tugas pemantauannya itu. Pasalnya, masjid-masjid yang ada di Indonesia dimiliki dan didirikan oleh masyarakat. Secara struktural, DMI tidak memiliki garis komando langsung ke masjid-masjid yang ada. "DMI itu kan ormas. Sebagai ormas, DMI tak mempunyai tanggung jawab untuk memantau aktivitas di ormas lain. Ini penting karena kebanyakan masjid dimiliki oleh ormas-ormas lain," tuturnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Bagja, mengatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak pernah melarang pemutaran suara pengajian dari kaset di masjid. “Pak JK tidak melarang tapi mengatur. Saya kira yang diinginkan fungsi dakwah dilakukan dengan syiar dan secara bijaksana melalui cara-cara yang baik,” kata Bagja kepada CNN Indonesia, Senin (26/7). (Baca:
JK: Hentikan Rekaman Pengajian yang Diputar di Masjid)
Menurut Bagja soal pembentukan tim pemantau yang dimaksud yaitu sebatas adanya orang yang bertugas menjelaskan ke pengurus masjid mengenai cara berdakwah yang lebih baik. “Yang bagus didengar dengan
speaker atau sounds system-nya yang baik dan mengaji secara langsung bukan pakai kaset rekaman,” kata dia. (Baca:
JK: Tak Usah Tengah Malam Bunyikan Speaker Kaset Pengajian)
Bagja mengakui para pengurus masjid yang memiliki induk organisasi memang akan mengacu pada induk organisasinya misalnya Muhammadiyah atau NU. Namun Bagja menegaskan tidak ada istilah masjid Muhammadiyah atau NU. “Semua masjid sama,” ujarnya.
(obs)