Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Jenderal Satgas Perlindungan Anak Ena Nurjanah bertolak ke Korea Selatan untuk melakukan studi banding, 18 Juli 2015. Perjalanan selama 10 hari tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi anak-anak di negeri gingseng tersebut.
Di Korea Selatan, Ena cukup tercengang dengan komitmen perlindungan anak yang dimiliki pemerintah dengan lembaga non pemerintah. Komitmen mereka begitu kuat untuk melindungi anak-anak bangsa, hingga kasus kekerasan yang terjadi pada anak pun sangat minim.
"Saya lupa tepatnya kasus apa, kekerasan pada anak atau kasus kekerasan seksual anak, itu jumlahnya hanya 15. Saya saja sampai kaget," kata Ena saat berbincang dengan CNN Indonesia di Jakarta, Kamis (30/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang lebih mengejutkan lagi, penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak di Korea Selatan ternyata baru berlaku tahun 2014. Tapi kasus anak yang berhasil ditangani sudah cukup tinggi. "Penanganan kasusnya sudah 43,1 persen," ujar Ena.
Dalam kurun waktu satu tahun sejak undang-undang diberlakukan, angka 43,1 persen memang bukan angka yang kecil. Kata Ena, kunci keberhasilan Korea Selatan terletak pada komitmen yang sangat kuat dari pemerintah dan lembaga non pemerintah yang fokus terhadap isu anak untuk melindungi anak-anak mereka.
"Mereka mendirikan 51 child protection center. Bahkan tahun depan mau membuay sampai seratusan," tutur Ena.
Tak hanya itu, pemerintah juga langsung membuat fasilitas-fasilitas umum yang ramah anak. Salah satu yang membuat Ena tercengang adalah taman khusus anak seluas 500 ribu meter persegi di dekat Kota Seoul. "Taman itu luas sekali. Benar-benar luas dan nyaman untuk anak-anak," ujarnya.
Sistem pengaduan yang mereka miliki sangat baik. Seluruh masyarakat di Korea Selatan bisa melakukan pengaduan langsung lewat satu nomor telepon jika menemukan kasus kekerasan pada anak maupun pelanggaran lain.
"Mereka punya lembaga pengaduan yang berkorelasi dengan polisi. Ada perwakilan pemerintah juga yang bertanggung jawab. Cara mereka bekerja berjejaring, jadi pengaduan lebih bagus," kata Ena.
Tak berhenti di situ, komitmen pemerintah Korea Selatan yang kuat juga ditunjukan dengan memberikan dana dan dukungan penuh terhadap lembaga non pemerintah. Mereka melakukan sosialisasi dan kampanye ke sekolah-sekolah sampai memberikan pengertian terhadap orang tua.
Sebab kebanyakan kekerasan terhadap anak di Korea Selatan dilakukan oleh orang tua, sama seperti di Indonesia. "Cuma ketika mereka sudah diberi tahu, orang tua mau berubah sehingga semakin bisa menekan angka kekerasan," ujarnya.
Ena mengatakan, peran lembaga non pemerintah yang fokus terhadap isu anak di Korea Selatan tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka melakukan perjuangan agar Korea Selatan memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Perjuangan sudah lama, jauh sebelum 2014. Perjalanan mereka sangat panjang sampai ada seorang anak meninggal karena perlakukan keras orang tuanya," ujar Ena.
Peristiwa tersebut dianggap menjadi titik balik Korea Selatan dalam melakukan perlindungan terhadap anak dengan lebih serius. Sebab kondisi anak di Korea Selatan sudah memprihatinkan kala itu. "Begitu berharga nyawa anak di Korea Selatan,” kata Kepala Sekretariat Satgas PA Ilma Sovri Yanti.
Berbanding Terbalik dengan IndonesiaJika berkaca pada kondisi perlindungan anak di Korea Selatan, keadaannya sungguh jauh dibanding Indonesia. Hal paling mendasar terlihat dari pemberlakuan undang-undang dan angka kekerasan yang masih tinggi.
Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak sudah ada sejak tahun 2002. Kala itu, perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Selang 12 tahun berlalu, peraturan perundangan mengenai perlindungan anak pun mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Ilma sangat menyayangkan, seiring waktu berlaku ditambah perubahan tersebut, nasib anak Indonesia tak jauh berubah. "Undang-Undang kita umurnya sudah puluhan tahun, tapi sudah berapa nyawa anak yang melayang. Kasus yang menimpa anak jumlahnya tinggi terus setiap tahun," kata Ilma.
Untuk diketahui, pada 2014 Komnas Perlindungan Anak mencatat ada 2.750 kasus kekerasan terhadap anak dilaporkan terjadi sepanjang tahun. Dari ribuan kasus tersebut, 58 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak.
Masih dari data Komnas PA, pada tahun 2010 laporan kekerasan terhadap anak mencapai 2.046 kasus, tahun bertambah menjadi 2.462 kasus, tahun 2012 bertambah lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melesat ke angka 3.339 kasus kekerasan pada anak.
(rdk)