Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan pemilihan kepala daerah serentak yang sudah di depan mata tak hanya pada masalah munculnya calon tunggal. Masalah politik uang diprediksi tetap bakalan marak. Kesadaran berpolitik yang sehat dan bersih masih sulit untuk diwujudkan.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan politik uang masih akan tetap banyak terjadi di pilkada. “
Money politics atau lebih tepatnya disebut
vote buying sulit untuk dilepaskan dalam pemilihan kepala daerah,” ujar Hamdi kepada CNN Indonesia, Sabtu (1/8).
Praktik jual beli suara, kata Hamdi, akan menyebar secara merata di daerah-daerah terutama yang banyak masyarakat miskinnya. Penyebab maraknya politik uang juga tak lepas dari tingkat kesadaran berpolitik yang rendah, baik dari masyarakat maupun dari pihak calon kepala daerahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hamdi mengingatkan bahayanya dampak politik uang bagi masyarakat. “Hanya dengan semisal uang Rp 250 ribu yang diterima tapi nantinya bisa menghambat laju pembangunan di daerahnya karena kepala daerahnya tersangkut kasus korupsi ke depannya.” tutur Hamdi
Pakar psikologi politik itu menilai mayoritas masyarakat banyak yang hanya melihat kepentingan jangka pendek ketimbang jangka panjang dari ajang pilkada. “Untuk mendidik masyarakat memang membutuhkan waktu yang panjang,” ujarnya.
Menurut Hamdi jual beli suara sudah menjadi kultur demokrasi di Indonesia yang diwarnai oleh masyarakat miskin dan kesadaran politik rendah. “Jadinya suara bisa dibeli,” ucap dia.
Hamdi mengatakan politik uang bakal sulit terjadi kalau calon-calon kepala daerahnya memiliki kualitas yang baik dan populer di masyarakatnya. Misalnya seperti Tri Rismaharini di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung atau Ahok di Jakarta. (Baca:
PAN Dukung Pencalonan Tri Rismaharini)
Namun, menurut Hamdi tidak tertutup kemungkinan praktik politik uang tetap terjadi di Jakarta, misalnya. “Di Jakarta yang heterogen ini penduduk miskinnya ada banyak sekali yang bisa menjadi sasaran politik uang dari calon-calon kepala daerah saat pilkada nanti,” kata dia.
Hamdi menambahkan, kalau masyarakat suatu daerah sudah banyak yang sejahtera tentunya akan sulit untuk memainkan politik uang. “Memang mereka berani mau bayar satu suara berapa,” ucapnya.
Sebagai salah satu cara untuk menekan maraknya politik uang, menurut Hamdi, harus ada tindakan tegas dari penyelenggara pilkada. “Badan Pengawas Pemilu mesti memberi sanksi yang tegas kepada calon kepala daerah yang terbukti melanggar kalau ada yang melaporkan,” kata dia. “Bawaslu memang dituntut untuk bekerja lebih keras.”
Pengamat politik dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Toto Izul Fatah memperkirakan partisipasi masyarakat dalam ajang pilkada serentak 2015 bakal rendah. “Ada semacam kejenuhan di masyarakat dalam memilih kepala daerahnya,” kata Toto kepada CNN Indonesia, Sabtu (1/8). (Baca:
KPU Cemas Kandidat Tunggal Munculkan Calon Boneka di Pilkada)
Toto menyebutkan berdasarkan hasil survei secara nasional di hampir setiap kabupaten/kota selama ini tingkat partisipasi publik di pilkada tidak lebih dari 70 persen. “Trennya berkisar 30 sampai 40 persen yang tidak memilih. Yang 70 persen memilih itu jarang ada,” ujarnya.
Toto juga mengatakan tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih kepala daerahnya tidak bisa dilepaskan dari adanya politik uang. “Bagaimana sekarang Komisi Pemilihan Umum dan juga pemerintah bisa merancang sistem agar partisipasi rakyat bisa besar. Ini pekerjaan rumah,” tutur dia.
(obs)