Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati soal itu.
Pasal penghinaan presiden sesungguhnya telah dihapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Ketika itu, kata Jimly, Indonesia langsung memperoleh pujian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. (Baca:
Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden)
"Keputusan kami (MK) itu membuat geger. PBB mengirim utusan khusus ke Indonesia. Setelah itu Dewan Hak Asasi Manusia PBB memuji Indonesia. Kita jarang dipuji, tidak 20 tahun sekali," ujar Jimly, mengenang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Jimly, pujian diberikan karena putusan bernomor 014-022/PUU-IV/2006 itu dianggap sebagai sebuah pencerahan. Ketika itu sejumlah negara di Eropa seperti Belanda dan Belgia masih memiliki delik penghinaan presiden meski lebih dari satu abad terakhir tak pernah lagi digunakan.
Jimly yang kala itu menjadi ketua majelis hakim menyebut delik penghinaan presiden sebagai bagian dari sistem feodal sehingga sudah tidak relevan lagi.
"Dulu kepala negara dan ratu dianggap simbol negara. Itu teori lama. Sekarang simbol itu artinya lambang negara. Pasal 26 UUD 1945 menyatakan (simbol) itu Garuda Pancasila," kata dia di Jakarta.
Jimly mengkategorikan Presiden sebagai institusi negara yang tidak memiliki perasaan sehingga tak dapat terhina. Hal tersebut berbeda dengan presiden secara pribadi.
"Penghinaan itu tindak pidana. Tapi bedakan antara perasaan pribadi dan institusi. Lembaga kepresidenan tidak punya perasaan. Yang terhina itu pribadi, maka sama dengan warga negara yang lain. Semua warga berhak merasa terhina," ujarnya.
Simak selengkapnya di Fokus:
Pro-Kontra Penghinaan PresidenDiskursus delik penghinaan terhadap presiden mencuat karena masuk ke dalam rancangan perubahan KUHP yang akan segera dibahas DPR. (Baca:
DPR Tak Janji Loloskan Pasal Penghinaan Presiden)
Presiden Jokowi sendiri mengaku selama ini tak pernah merasa terhina meski kerap menerima kritik dalam berbagai bentuk. "Gini ya, jadi wali kota, gubernur, atau presiden itu yang namanya diejek, dicemooh, dicaci, dihina, sudah makanan sehari-hari. Biasa. Kalau saya mau, ribuan yang kayak gitu bisa dipidanakan. Itu kalau saya mau,” kata dia. (Baca
Jokowi: Kalau Saya Mau, Ribuan Orang Dipidana)
Sementara itu ahli hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan setahu dia RUU KUHP telah disiapkan dari jauh hari, disusun oleh pemerintahan sebelumnya, sehingga pemerintah Jokowi yang belum setahun berkuasa menerima RUU tersebut dalam bentuk draf yang telah tuntas untuk diserahkan ke DPR.
“Boleh jadi Jokowi teledor. Padahal dia menyatakan biasa dicaci maki dan tak pernah memenjarakan pencacinya. Maka seharusnya dalam prinsip, Jokowi tidak menghendaki pasal ini. Jadi sekalian saja dia perintahkan cabut pasal ini dari RUU KUHP,” ujar Margarito.
DPR sendiri menyatakan belum tentu meloloskan pasal penghinaan presiden. Pasal tersebut, kata Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin, tidak bisa dihidupkan kembali karena telah dihapus MK.
"Berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang sudah dibatalkan MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali. Secara logika hukum itu tidak mungkin," kata politikus Golkar itu.
Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Selama ini, ujar Aziz, belum pernah ada pasal yang telah dibatalkan MK lantas dibahas kembali oleh DPR bersama pemerintah. Belum juga ada kejadian MK membatalkan pasal serupa selama dua kali berturut-turut.
(agk)