-- Rencana pemerintah menghidupkan pasal penghinaan presiden lewat revisi Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai beragam reaksi, mayoritas negatif. Apalagi pasal tersebut telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. (Baca:
Sanksi bagi penghina presiden dimasukkan ke dalam RUU KUHP Pasal 263 Ayat 1 dan Pasal 264 RUU KUHP. Pasal 263 Ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Aturan itu diperluas melalui Pasal 264 RUU KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Kedua pasal tersebut secara tegas akan memidanakan setiap orang yang terbukti menghina Presiden dan Wakil Presiden. Atas rencana pemerintah menghidupkan pasal itu, sebagian orang melihatnya wajar demi menjaga martabat presiden sebagai kepala negara dan simbol negara. Namun sebagian lainnya menilai pasal itu berbahaya karena dapat digunakan sebagai alat negara untuk membungkam masyarakat yang melontarkan kritikan kepada presiden dan wakilnya.
Aturan soal penghinaan terhadap presiden yang sebelumnya dihapus MK persisnya tercantum pada Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Ketiga pasal itu dihapus karena dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan disalahartikan.
KUHP yang selama ini digunakan pemerintah Republik Indonesia merupakan warisan era kolonial Belanda, yaitu
Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.
Kala itu pasal penghinaan digunakan untuk melindungi pemerintah kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan RI. (Baca penjelasan
Yusril: Pasal Penghinaan Presiden Semula Untuk Ratu Belanda)
Pasca kolonialisme Belanda, pasal tersebut kerap digunakan pemerintah untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang melontarkan kritik lewat beragam media, baik lisan maupun tulisan. Cara itu –dengan memanfaatkan tangan polisi dan jaksa– terbilang efektif.
Pasal itu berjalan dengan logika bahwa presiden, wakil presiden, dan lembaga adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Posisi jabatan-jabatan itu dianggap tidak memungkinkan bertindak sebagai pengadu sehingga siapapun penghina presiden dapat langsung diproses penegak hukum.
Berlakunya pasal itu dinilai merugikan banyak orang, terutama pada Orde Baru. Aktivis Sri Bintang Pamungkas misalnya divonis 10 bulan penjara karena terlibat demo anti-Soeharto di Jerman, April 1995.
Ada pula Nanang dan Mundzakir yang didakwa satu tahun penjara karena menginjak foto Megawati saat berdemo di depan Istana Negara pada 2003, serta I Wayan Suardana yang dihukum enam bulan penjara karena membakar foto Susilo Bambang Yudhoyono dalam aksi unjuk rasa menolak kenaikan bahan bakar minyak tahun 2005.
Kasus-kasus itu berhenti saat Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 memutuskan delik atau tindak pidana penghinaan terhadap kepala negara yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Secara hukum, delik penghinaan dalam pasal yang dihapus oleh MK merupakan delik formal. Artinya sepanjang unsur deliknya terpenuhi, maka sudah terpenuhi alat bukti bagi polisi untuk menindak secara hukum terhadap seseorang atau kelompok yang melakukan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden tanpa harus menunggu persetujuan pihak yang dirugikan, yakni Presiden.
Pasal tersebut berjalan dengan logika bahwa presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatan-jabatan itu dianggap tidak memungkinkan bertindak sebagai pengadu.
Insiden JaguarPenghapusan kausa penghinaan presiden bermula ketika pasal itu menjerat Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. Keduanya berkata kepada media bawah Presiden SBY telah menerima mobil dari seorang pengusaha. Mereka lantas dipidanakan, dan Eggi mengajukan uji materi ke MK karena tidak terima dengan pemidanaan itu. (Baca:
Pasal Penghinaan Presiden Dihapus Setelah Tuduhan Jaguar SBY)
Eggi menghadirkan sejumlah saksi ahli di hadapan sidang MK. Disertai perbedaan pendapat atau dissenting opinion, MK akhirnya menyatakan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP terkait penghinaan presiden bertentangan dengan UUD 1945 karena berpeluang menghambat kebebasan masyarakat berekspresi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain menghapus kausa penghinaan presiden dalam KUHP, MK memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus pasal tersebut dari RUU KUHP. MK menyatakan pasal penghinaan presiden jelas meniadakan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta mengurangi kebebasan mendapat informasi dan prinsip kepastian hukum.
Secara khusus, MK menegaskan perlunya pembaruan hukum sehingga RUU KUHP mendatang tidak boleh memuat nilai serupa seperti yang terdapat dalam Pasal 34, 136 bis, dan 137 yang telah dihapus tersebut.
MK juga memberikan pendapat sama terhadap Pasal 207 KUHP. Pasal itu berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.”
Dalam putusan bernomor 013-022/PUU-IV/2006, MK menempatkan Pasal 207 tersebut sebagai delik aduan. Artinya, polisi baru bisa melakukan penegakan hukum bila ada pengaduan langsung dari pihak yang dirugikan, dalam hal ini termasuk presiden.
Secara implisit, MK juga menyatakan ketentuan pidana terkait penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden harus dipertimbangkan, sebab itu sangat tergantung pada tafsir yang bersifat subjektif untuk membuktikan adanya kritik maupun penghinaan. Dengan kata lain, hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kenapa kini pasal itu hendak dihidupkan kembali? Baca selanjutnya:
Dalih Pemerintah di Balik Pasal Penghinaan Presiden Meski MK meminta pasal yang memuat nilai serupa dengan pasal penghinaan presiden tidak dimasukkan ke dalam RUU KUHP, pemerintahan Jokowi awal Juni lalu justru menyerahkan draf revisi RUU KUHP berisi pasal tersebut. Dua pasal soal itu menyempil di antara 786 pasal yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Jokowi membantah pasal tersebut bertujuan untuk membungkam kritik terhadap penguasa, “Jadi wali kota, gubernur, atau presiden, yang namanya dicemooh, dicaci, dihina, sudah makanan sehari-hari. Biasa. Kalau saya mau, ribuan yang kayak gitu bisa dipidanakan. Itu kalau saya mau. Tapi sampai detik ini, hal seperti itu tidak saya lakukan (Pasal) ini kan urusannya presiden sebagai simbol negara. Kalau saya pribadi, (cemoohan) itu makanan sehari-hari,” kata dia. (Baca selengkapnya
Jokowi: Kalau Saya Mau, Ribuan Orang Dipidana)
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly membeberkan gamblang alasan pemerintah hendak menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden lewat dokumen berjudul ‘Telaahan Hukum terkait Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP.”
Dalam dokumen itu, Yasonna menyebut ketentuan yang dapat dipakai terkait delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ialah Pasal 310-321 KUHP apabila penghinaan tersebut ditujukan kepada kualitas pribadi sang Presiden atau Wapres, dan Pasal 207 KUHP jika penghinaan ditujukan kepada Presiden dan Wapres selaku pejabat.
Pasal 310 KUHP Ayat 1 berbunyi, “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam dengan pencemaran pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.”
Selanjutnya Ayat 2 berbunyi, “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.”
Sementara pada Ayat 3 dijelaskan, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”
Masih terkait penghinaan, Pasal 311 KUHP Ayat 1 berbunyi, “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, (tapi dia) tidak membuktikannya, dan tuduhan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Dokumen ‘Telaahan Hukum terkait Pengaturan Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP’ itu juga menjelaskan perbedaan pasal penghinaan yang telah dihapus dalam KUHP dengan yang ada pada RUU KUHP saat ini.
Pasal 134 KUHP, kata Yasonna, hanya berbunyi, “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.”
Sementara Pasal 263 RUU KUHP Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Berikutnya pada Ayat 2 dijelaskan “Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 263 RUU KUHP disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘menghina’ adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.”
Dijelaskan pula “Penghinaan terhadap orang biasanya merupakan tindak pidana aduan, tetapi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat dituntut dengan tidak perlu pengaduan.”
Ditegaskan bahwa “Pasal ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden,” serta disebutkan “Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan, dan oleh karena itu dilarang di berbagai negara."
Penjelasan itu juga menyebutkan, “Dirasakan janggal atau tidak sepadan jika penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan kepala negara sahabat saja dijadikan tindak pidana; sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak.”
Apakah pasal tersebut mengancam? Baca selanjutnya:
Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Amat Berbahaya Ahli hukum tata negara Margarito Kamis menentang dihidupkannya kausa penghinaan presiden. Apapun alasannya, kata dia, pasal tersebut berbahaya, mengundang otoritarianisme, berpotensi mematikan demokrasi dan mengurangi akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintah.
“Pemerintahan, siapapun yang berkuasa, akan jadi pemerintahan suka-suka. Begitu menghina maka dipenjara. Kalau pemerintahan otoriter, kita tidak bisa bicara kesejahteraan rakyat,” kata dia.
Lagipula, ujar Margarito, pejabat publik yang mengemban tanggung jawab memang tak boleh tersinggung dari kritik dan hinaan publik. “Pasal penghinaan saja sudah dihilangkan dari sejarah hukum Amerika Serikat sejak 1801,” kata dia.
“Jadi kenapa sekarang di sini, di negara hukum demokratis, di era terbuka ketika media sosial begitu kuat menggaungkan tuntutan transparansi, kok orang mau dipenjara?” ujar Margarito.
Mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara era SBY itu berpendapat pasal penghinaan presiden luar biasa berbahaya dan tak bisa ditoleransi. “Misalnya, apa yang dimaksud penghinaan? Lalu definisi menghina di muka umum itu bagaimana? Berapa orang disebut umum? Itu kan elastis. Pasal ini bisa dipakai untuk menjatuhkan lawan politik,” kata dia.
Soal definisi menghina, Yasonna telah menerangkan hal itu termaktub pada Penjelasan Pasal 263 RUU KUHP yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘menghina’ adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.”
Sementara soal batasan ‘umum,’ hal itu tercantum pada Pasal 136 RUU KUHP yang berbunyi, “Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 315 (penghinaan ringan), jika itu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka umum dengan beberapa perbuatan maupun tidak di muka umum tetapi di hadapan lebih dari empat orang atau orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya, dan yang merasa tersentuh hatinya akan itu dengan perbuatan-perbuatan atau dengan lisan atau tulisan.”
Meski menyebut pasal penghinaan presiden berbahaya, Margarito mengatakan “Kita mesti adil kepada Presiden yang saat ini memerintah.”
Menurut Margarito, setahu dia RUU KUHP telah disiapkan dari jauh hari, disusun oleh pemerintahan sebelumnya. Pemerintah Jokowi yang belum setahun berkuasa menerima RUU tersebut dalam bentuk draf yang telah tuntas untuk diserahkan ke DPR.
“Boleh jadi Jokowi teledor. Padahal dia menyatakan biasa dicaci maki dan tak pernah memenjarakan pencacinya. Maka seharusnya dalam prinsip, Jokowi tidak menghendaki pasal ini. Maka sekalian saja dia perintahkan cabut pasal ini dari RUU KUHP,” ujar Margarito.
DPR sendiri menyatakan belum tentu meloloskan pasal penghinaan presiden. Pasal tersebut, kata Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin, tidak bisa dihidupkan kembali karena telah dihapus MK.
"Berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang sudah dibatalkan MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali. Secara logika hukum itu tidak mungkin," kata politikus Golkar itu.
Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Selama ini, ujar Aziz, belum pernah ada pasal yang telah dibatalkan MK lantas dibahas kembali oleh DPR bersama pemerintah. Belum juga ada kejadian MK membatalkan pasal serupa selama dua kali berturut-turut.