Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional AM Hendropriyono meyakini wacana penghidupan kembali pasal penghinaan presiden tidak mencerminkan kembalinya masa orde baru di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. "Tidak lah (kembali ke orde baru), harus dibedakan antara kritik dan menghina. Dan harus terang dalam Undang-Undang perbedaran antara kedua itu," kata Hendro di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (7/8).
Pada pokoknya, dia berpendapat, penghinaan presiden adalah sebuah kesalahan. Karena itu, pasal penghinaan presiden diperlukan dalam tatanan hukum Indonesia. "Masak dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin malah dihina-hina," ujarnya.
Dia menyimpulkan, dalam menghadapi kebijakan presiden, diperlukan kepala yang dingin dan tidak perlu menggunakan emosi sehingga menghina. Kritik, menurutnya, adalah hal yang sah-sah saja untuk dilakukan. "Dalam praktik saja kita lihat, masak orang maki-maki presiden kita biarkan. Ya tidak boleh dong. Kalau kritik biarkan saja," kata Hendro.
(Baca juga: Pakar Hukum: Presiden Bukan Simbol Negara, Tak Perlu Pasal)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wacana penghidupan kembali pasal ini mencuat belakangan seiring dimasukannya pasal penghinaan presiden oleh pemerintah ke dalam draf revisi Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang bakal dibahas bersama DPR mulai akhir Agustus ini.
Pasal penghinaan presiden sesungguhnya telah dihapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Saat itu pasal yang dihapus berbunyi, "Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500."
Kini kausa serupa yang dimasukkan ke dalam Pasal 263 Ayat 1 RUU KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
(Baca: Menyelami Pasal Warisan Belanda)Delik itu diperluas pada Pasal 264 RUU KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 263 RUU KUHP disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘menghina’ adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.”
(Baca: DPR Tak Janji Loloskan Pasal Penghinaan Presiden)Dijelaskan pula, "Penghinaan terhadap orang (individu) biasanya merupakan tindak pidana (delik) aduan, tetapi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat dituntut tanpa perlu pengaduan (delik biasa)."
Dalam delik aduan, perkara baru dapat diproses apabila ada pengaduan atau pelaporan dari pihak yang dirugikan, dalam hal ini presiden. Sementara dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dengan demikian, siapapun yang melaporkan adanya penghinaan terhadap presiden, sekalipun presiden mengaku tak merasa dirugikan, dapat dipidanakan.
(sip)