Pakar Hukum: Presiden Bukan Simbol Negara, Tak Perlu Pasal

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Jumat, 07 Agu 2015 07:49 WIB
Berdasarkan UU No 24/2009, lambang atau simbol negara ialah Garuda Pancasila, bukan presiden. Presiden masuk kategori institusi negara yang tak punya perasaan.
Presiden Jokowi. (Detikcom/Bagus Prihantoro)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menilai pasal penghinaan presiden sulit diterapkan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Ini karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan RI merupakan produk hukum yang diadopsi dari Belanda yang menganut sistem pemerintahan parlementer. (Baca: Menyelami Pasal Warisan Belanda)

Pasal penghinaan presiden yang telah mati dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006 kini hendak dihidupkan kembali oleh pemerintah melalui Rancangan UU KUHP yang akan mulai dibahas pemerintah bersama DPR usai masa reses pertengahan Agustus ini. (Baca: DPR Tak Janji Loloskan Pasal Penghinaan Presiden)

Dalam sistem parlementer Belanda, kata Arsil, raja dan ratu merupakan simbol negara, sedangkan pemerintahan di negara itu dipimpin oleh perdana menteri. Alhasil pasal penghinaan dibuat untuk melindungi dan menjaga martabat Raja dan Ratu Belanda yang berfungsi sebagai lambang negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, ujar Arsil, Indonesia menganut sistem berbeda. Di sini, presiden bukan lambang negara, melainkan kepala negara dan kepala pemerintahan. UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan jelas menyebut lambang negara ialah Garuda Pancasila, bukan presiden.

Menurut Arsil, saat pemerintah RI mengadopsi hukum pidana Belanda, kata 'raja ratu' dalam pasal penghinaan diganti dengan kata 'presiden.' (Baca juga Yusril: Pasal Penghinaan Presiden Semula Untuk Ratu Belanda)

Dalam sistem presidensial, ujar Arsil, sulit dibedakan antara murni tindakan penghinaan terhadap presiden dengan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah. Oleh sebab itu ia menilai pasal penghinaan presiden berbahaya karena berpotensi digunakan rezim berkuasa ketika diserang kritikan. (Baca: Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden)

Arsil mengatakan, yang menjadi pokok permasalahan adalah ancaman hukuman yang diatur dalam pasal penghinaan tersebut, yakni lima tahun penjara bagi orang yang menghina presiden. (Baca: Dalih Hukum Pemerintah soal Pasal Penghinaan Presiden)

"Ketika orang demonstrasi, polisi bisa gunakan pasal itu dan bisa menahan mereka," kata Arsil.

Pendapat serupa soal pasal penghinaan presiden dikemukakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Jimly yang menjadi ketua majelis hakim yang menghapus pasal itu tahun 2006 menyebut delik penghinaan presiden bagian dari sistem feodal yang sudah tidak relevan lagi digunakan, sebab simbol negara menurut konstitusi jelas Garuda Pancasila.

Jimly mengkategorikan presiden sebagai institusi negara yang tidak memiliki perasaan sehingga tak dapat terhina. Hal tersebut berbeda dengan presiden secara pribadi. "Penghinaan itu tindak pidana. Tapi bedakan antara perasaan pribadi dan institusi. Lembaga kepresidenan tidak punya perasaan. Yang terhina itu pribadi, sama seperti warga lain," ujarnya.

Jokowi secara terpisah menampik pasal penghinaan presiden bertujuan untuk membungkam kritik terhadapnya. Selama menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga kini Presiden, Jokowi menegaskan tak pernah memperkarakan orang-orang yang menghinanya. (Baca Jokowi: Pasal Penghinaan Presiden Diusulkan Pemerintah Lalu) (obs/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER