Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden

Anggi Kusumadewi, Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Kamis, 06 Agu 2015 08:52 WIB
Bermula dari hukum era kolonial Belanda, diteruskan oleh pemerintah RI. Pasal ini sudah mati saat MK menghapusnya pada 2006. Namun kini hendak dihidupkan lagi.
Ilustrasi KUHP. (Detikcom/Ari Saputra)
KUHP yang selama ini digunakan pemerintah Republik Indonesia merupakan warisan era kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

Kala itu pasal penghinaan digunakan untuk melindungi pemerintah kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan RI. (Baca penjelasan Yusril: Pasal Penghinaan Presiden Semula Untuk Ratu Belanda)

Pasca kolonialisme Belanda, pasal tersebut kerap digunakan pemerintah untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang melontarkan kritik lewat beragam media, baik lisan maupun tulisan. Cara itu –dengan memanfaatkan tangan polisi dan jaksa– terbilang efektif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasal itu berjalan dengan logika bahwa presiden, wakil presiden, dan lembaga adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Posisi jabatan-jabatan itu dianggap tidak memungkinkan bertindak sebagai pengadu sehingga siapapun penghina presiden dapat langsung diproses penegak hukum.

Berlakunya pasal itu dinilai merugikan banyak orang, terutama pada Orde Baru. Aktivis Sri Bintang Pamungkas misalnya divonis 10 bulan penjara karena terlibat demo anti-Soeharto di Jerman, April 1995.

Ada pula Nanang dan Mundzakir yang didakwa satu tahun penjara karena menginjak foto Megawati saat berdemo di depan Istana Negara pada 2003, serta I Wayan Suardana yang dihukum enam bulan penjara karena membakar foto Susilo Bambang Yudhoyono dalam aksi unjuk rasa menolak kenaikan bahan bakar minyak tahun 2005.

Kasus-kasus itu berhenti saat Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 memutuskan delik atau tindak pidana penghinaan terhadap kepala negara yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Secara hukum, delik penghinaan dalam pasal yang dihapus oleh MK merupakan delik formal. Artinya sepanjang unsur deliknya terpenuhi, maka sudah terpenuhi alat bukti bagi polisi untuk menindak secara hukum terhadap seseorang atau kelompok yang melakukan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden tanpa harus menunggu persetujuan pihak yang dirugikan, yakni Presiden.

Pasal tersebut berjalan dengan logika bahwa presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatan-jabatan itu dianggap tidak memungkinkan bertindak sebagai pengadu.

Insiden Jaguar

Penghapusan kausa penghinaan presiden bermula ketika pasal itu menjerat Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. Keduanya berkata kepada media bawah Presiden SBY telah menerima mobil dari seorang pengusaha. Mereka lantas dipidanakan, dan Eggi mengajukan uji materi ke MK karena tidak terima dengan pemidanaan itu. (Baca: Pasal Penghinaan Presiden Dihapus Setelah Tuduhan Jaguar SBY)

Eggi menghadirkan sejumlah saksi ahli di hadapan sidang MK. Disertai perbedaan pendapat atau dissenting opinion, MK akhirnya menyatakan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP terkait penghinaan presiden bertentangan dengan UUD 1945 karena berpeluang menghambat kebebasan masyarakat berekspresi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain menghapus kausa penghinaan presiden dalam KUHP, MK memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus pasal tersebut dari RUU KUHP. MK menyatakan pasal penghinaan presiden  jelas meniadakan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta mengurangi kebebasan mendapat informasi dan prinsip kepastian hukum.

Secara khusus, MK menegaskan perlunya pembaruan hukum sehingga RUU KUHP mendatang tidak boleh memuat nilai serupa seperti yang terdapat dalam Pasal 34, 136 bis, dan 137 yang telah dihapus tersebut.

MK juga memberikan pendapat sama terhadap Pasal 207 KUHP. Pasal itu berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.”

Dalam putusan bernomor 013-022/PUU-IV/2006, MK menempatkan Pasal 207 tersebut sebagai delik aduan. Artinya, polisi baru bisa melakukan penegakan hukum bila ada pengaduan langsung dari pihak yang dirugikan, dalam hal ini termasuk presiden.

Secara implisit, MK juga menyatakan ketentuan pidana terkait penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden harus dipertimbangkan, sebab itu sangat tergantung pada tafsir yang bersifat subjektif untuk membuktikan adanya kritik maupun penghinaan. Dengan kata lain, hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Kenapa kini pasal itu hendak dihidupkan kembali? Baca selanjutnya: Dalih Pemerintah di Balik Pasal Penghinaan Presiden

Dalih Pemerintah

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3 4
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER