Komisi III: Pasal Penghinaan Presiden Rentan Kepentingan

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Jumat, 07 Agu 2015 15:07 WIB
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond J Mahesa mengatakan perlunya pemaparan secara rinci atas pasal penghinaan presiden yang kembali dimasukkan ke KUHP.
Presiden Joko Widodo. (Reuters/Roger Su)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond J Mahesa mengatakan perlunya pemaparan secara rigid atas pasal penghinaan presiden yang kembali dimasukkan ke rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, pengaturan secara rinci diperlukan agar tidak ditafsirkan lain dan memunculkan banyak interpretasi.

Pengaturan secara detil terkait pasal penghinaan juga diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan pasal dari orang-orang berkepentingan.

"Jangan ngambang. Sampai penegak hukum bisa memperluas dan mengembangkan pasal ini untuk hal yang tidak jelas," ujar Desmond, Jumat (7/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diketahui, RKUHP ini telah diterima Komisi Hukum DPR dan akan dibahas bersama pemerintah usai masa reses nanti. Desmond mengatakan dirinya pun telah diundang pemerintah Belanda untuk membahas lebih lanjut tentang KUHP.

KUHP merupakan pengadopsian produk hukum negara Belanda. Pasal penghinaan itu pun dibentuk untuk menjaga martabat raja dan ratu yang merupakan lambang negara. Diketahui, Belanda adalah negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.

Sementara Indonesia merupakan negara dengan sistem presidensil dimana presiden berlaku sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Adapun yang menjadi simbol negara Indonesia adalah Garuda Pancasila.

"Dapat pasal ini kan dari Belanda. Pasal ini kan antara perlu tidak perlu, tapi sudah dibatalkan MK secara signifikan," ujar Desmond.

"Kesimpulannya pasal ini melanggar UUD," tuturnya.

Diketahui, sebanyak lima pasal terkait penghinaan presiden ini sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. Pasal-pasal yang dibatalkan MK adalah pasal 134, 136 bis, 137, 154 dan 155.

Pada 17 Juli 2007, MK menyatakan pasal 154 dan 155 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi karena  dianggap produk kolonial yang tak lagi sesuai dengan Indonesia yang merupakan negara hukum yang demokratis.

Kelima pasal tersebut "bangkit kembali" di RKUHP pada pasal 262, 263, 264, 284 dan 285. Dalam RKUHP pasal 262 mengatur, setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana penjara paling lama sembilan tahun.

Sementara itu terkait penghinaan muncul dalam pasal 263, orang yang dimuka unum menghina presiden atau wakil presiden dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Dalam pasal 264, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat umum atau memperdengarkan rekaman dan terdengar umum yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud diketahui umum maka dipidana penjara paling lama lima tahun. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER