Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Jokowi menyatakan tak keberatan apabila pasal penghinaan presiden ditolak oleh masyarakat maupun Dewan Perwakilan Rakyat. Menurutnya, dia hanya melanjutkan draf Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disusun oleh pemerintah sebelumnya.
“Ini hanya rancangan. Kalau memang tak ingin (ada pasal penghinaan presiden), ya terserah. Nanti wakil-wakil rakyat yang memutuskan. Pemerintah yang lalu juga usulkan (pasal) itu. Kami kan melanjutkan, memasukkannya lagi (ke RUU KUHP),” kata Jokowi.
Ia menekankan menyerahkan hal itu sepenuhnya ke DPR. Para legislator, kata Jokowi, punya wewenang untuk menentukan apakah pasal tersebut layak masuk ke dalam UU KUHP atau tidak. (Baca:
Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi juga mengatakan bahwa selama ini, mulai saat dia menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden, ia kerap menerima cemoohan dan tak pernah mempermasalahkannya. (Baca Jokowi:
Kalau Saya Mau, Ribuan Orang Dipidana)
Apapun, menurut Jokowi, Presiden merupakan simbol negara sehingga di negara lain pun ada pasal yang mengatur soal penghinaan kepada presiden.
Jokowi kembali membantah tudingan pasal penghinaan presiden bertujuan untuk membungkam kritik terhadapnya. Ia berpandangan, pasal-pasal justru bisa melindungi masyarakat yang ingin mengkritisi dan mengoreksi pemerintah.
"Kalau enggak ada pasal itu, bisa-bisa kamu dibawa ke pasal-pasal karet," kata Jokowi. (Baca selengkapnya:
Dalih Hukum Pemerintah Soal Pasal Penghinaan Presiden)
Menurut Jokowi, pasal yang jelas justru bersifat memproteksi karena di dalamnya tercantum batasan tegas antara mana yang disebut menghina dengan yang hukum.
Terkait kritik yang menyebut pasal penghinaan presiden adalah feodal, Jokowi mengatakan setiap orang memiliki pandangan berbeda-beda. "Kalau saya (sebagai seorang Presiden RI) pergi ke negara lain, di sana dicaci-maki, kamu mau ndak? Bukan soal (pribadi) Jokowinya loh ini," ujar dia.
Namun mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie tak sepakat dengan argumen. Jimly yang menjadi ketua majelis hakim saat MK membatalkan pasal penghinaan presiden tegas menyebut delik penghinaan presiden sebagai bagian dari sistem feodal sehingga tak relevan lagi digunakan.
"Dulu kepala negara dan ratu dianggap simbol negara. Itu teori lama. Sekarang simbol itu artinya lambang negara. Pasal 26 UUD 1945 menyatakan (simbol) itu Garuda Pancasila," kata Jimly.
Jimly mengkategorikan Presiden sebagai institusi negara yang tidak memiliki perasaan sehingga tak dapat terhina. "Lembaga kepresidenan tidak punya perasaan. Yang terhina itu pribadi," ujarnya.
Pasal penghinaan presiden sesungguhnya telah hilang dari KUHP setelah dihapus MK pada tahun 2006. Pasal yang dibatalkan MK itu berbunyi, “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.”
Kini pasal serupa dimasukkan ke dalam draf RUU KUHP dengan bunyi, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
RUU KUHP akan mulai dibahas DPR bersama pemerintah akhir Agustus ini, seiring berakhirnya masa reses DPR.
(agk)