Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai adanya aturan diskriminatif dalam Peraturan Daerah Tolikara. Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution mengatakan karena dalam Perda tersebut ada aturan pelarangan dan pembatasan agama dan pengamalan agama tertentu di Tolikara.
"Dalam perspektif HAM itu diskriminatif," ujar Manager di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (10/8).
Maneger mengatakan hal ini merupakan salah satu jenis pelanggaran intoleransi. Manager turut mengungkapkan sebelumnya Tim Komnas HAM telah bertemu dan mengkonfirmasi tersebut kepada Bupati Tolikara.
(Baca juga: Empat Pelanggaran di Tolikara Versi Komnas HAM)
Diketahui, Komnas HAM mengirimkan tim ke Tolikara pada 21-25 Juli untuk menelusuri insiden pembakaran saat hari raya pertama Idul Fitri lalu. Dalam pertemuan itu, ujar Manager, Bupati Tolikara mengkonfirmasi dan mengatakan dirinya menandatangani Perda itu pada 2013 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tanya ke bupati apakah betul ada perda pelarangan itu. Secara verbal, (bupati) mengakui itu," ujarnya.
(Baca juga: Buntut Kerusuhan Tolikara, Polda Papua Periksa 30 Anggotanya)Meski demikian, ia mengakui belum memelihat dan memiliki berkas Perda tersebut. Manager mengatakan Bupati telah berjanji untuk menyerahkan Perda yang ia tandatangani, namun hingga saat ini masih belum diberikan kepada Komnas HAM.
Hal yang sama turut disampaikan Ketua Komnas HAM Nur Cholis. Ia mengatakan hingga saat ini belum jelas keberadaan dari Perda Tolikara. Meski demikian, ia menilai Perda ini menjadi salah satu penyebab terjadinya insiden Tolikara pada 17 Juli lalu.
"Diduga Perda ini tidak inline dengan HAM?" tuturnya. Hal serupa diutarakan Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas. Ia menganalogikan insiden Tolikara seperti petasan dan Perda tersebut menjadi zat peledak di dalamnya.
Komnas HAM sendiri menemukan ada empat pelanggaran hak asasi manusia dalam kejadian itu. Empat pelanggaran tersebut adalah intoleransi, pelanggaran hak hidup, pelanggaran rasa aman, dan pelanggaran properti.
(Baca juga: Kisah Kristen Tolikara Hibahkan Tanah Ulayat untuk Musala)Untuk kasus intoleransi, Kapolri diminta untuk menyelesaikannya. Sementara untuk pelanggaran hak hidup, siapapun penembaknya baik itu datang dari unsur Polri atau TNI harus ditemukan dan dimintai tanggng jawabnya.
"Untuk pelanggaran rasa aman dan pelanggaran properti adalah kewajiban negara untuk menyelesaikannya," kata Maneger.
(pit)