Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menegaskan bahwa putusan lembaganya bersifat final dan mengikat, termasuk putusan soal pasal penghinaan presiden yang pernah dibatalkan masuk Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) pada 2006 lalu.
"Jadi, putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Itu saja," ujar Arief di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/8).
(Lihat Juga: FOKUS: Pro-Kontra Penghinaan Presiden)Menurut Arief, beberapa pasal yang pernah dibatalkan MK memang pernah dan diajukan kembali, kemudian dibuatkan lagi dengan landasan filosofi dan landasan yuridis yang lain.
(Lihat Juga: Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa ada yang begitu, contohnya dalam UU MD3. Itu kami mengajukan lagi, padahal kami sudah pernah memutuskan. Tapi apakah itu menjadi pengujian undang-undang lagi, enggak tahu saya," kata dia.
Arief menuturkan, ia seharusnya tidak boleh berkomentar, karena pasal-pasal tersebut kemungkinan bisa menjadi obyek sengketa atau perkara di MK kembali.
(Lihat Juga: DPR Tak Janji Loloskan Pasal Penghinaan Presiden)
"Kalau dalam hal-hal itu saya sangat tidak boleh berkomentar, karena melanggar kode etik hakim di MK," ujar dia.
Pasal penghinaan terhadap presiden sesungguhnya saat ini telah hilang dari KUHP setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Namun pemerintah kembali memasukkannya ke dalam draf revisi RUU KUHP yang diserahkan ke DPR awal Juni lalu.
Pasal penghinaan presiden yang telah dibatalkan MK berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Kategori IV."
Ruang lingkup pasal itu di RUU KUHP kini diperluas dengan bunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Sebelumnya, Presiden Jokowi juga telah menyatakan tak keberatan apabila pasal penghinaan Presiden ditolak oleh masyarakat maupun DPR. Menurutnya, dia hanya melanjutkan draf Rancangan UU KUHP yang telah disusun oleh pemerintah sebelumnya.
(Lihat Juga: Jokowi: Pasal Penghinaan Presiden Diusulkan Pemerintah Lalu)“Ini hanya rancangan. Kalau memang tak ingin (ada pasal penghinaan presiden), ya terserah. Nanti wakil-wakil rakyat yang memutuskan. Pemerintah yang lalu juga usulkan (pasal) itu. Kami melanjutkan, memasukkannya lagi (ke RUU KUHP),” kata Jokowi.
Ia menekankan menyerahkan hal itu sepenuhnya ke DPR. Para legislator, kata Jokowi, punya wewenang untuk menentukan apakah pasal tersebut layak masuk ke dalam UU KUHP atau tidak.
(utd)