Legislator PKS: Pasal Penghinaan Presiden Seperti Zombie

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Kamis, 06 Agu 2015 13:49 WIB
"Kalau hidup lagi, pasal ini bakal menakutkan," kata politikus PKS Nasir Djamil soal pasal yang dimatikan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 itu.
Ilustrasi RUU KUHP. (Detikcom/Ari Saputra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil menganalogikan keinginan pemerintah menerapkan kembali pasal penghinaan presiden seperti hendak menghidupkan orang yang sudah mati.
 
“Kalau hidup lagi, pasal ini berpotensi jadi pasal zombie dan bakal menakutkan," ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS itu. (Baca juga: Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden)
 
Nasir menganggap rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden sebagai bentuk ketidaktaatan hukum pemerintah karena sesungguhnya pasal tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. (Baca: Indonesia Dipuji PBB Saat Hapus Pasal Penghinaan Presiden)
 
Pasal tersebut, menurut Nasir, akan menimbulkan tafsir yang berbeda-beda sehingga lebih baik tak perlu ada ketimbang nantinya menyebabkan masalah hukum baru.
 
“Justru alasan MK membatalkan pasal itu karena penerapannya di lapangan menimbulkan komplikasi,” kata legislator dari daerah pemilihan Aceh itu.

Saat memutuskan menghapus pasal penghinaan presiden, MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena berpeluang menghambat kebebasan berekspresi masyarakat.

MK saat itu juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus pasal tersebut dari Rancangan UU KUHP. MK menyatakan pasal penghinaan presiden meniadakan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan berpendapat, serta mengurangi kebebasan mendapat informasi dan prinsip kepastian hukum.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara khusus, MK menegaskan RUU KUHP mendatang tidak boleh memuat nilai serupa seperti yang terdapat dalam pasal penghinaan presiden yang telah dihapus tersebut. Pasal ‘mati’ itu berbunyi, “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.”

Secara terpisah, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menilai pasal penghinaan presiden tak mungkin dimunculkan lagi. “Kalau dihidupkan kembali dengan unsur yang sama, kami ini (pemerintah dan DPR) sama-sama inkonstitusional,” kata dia.

Simak selengkapnya di Fokus: Pro-Kontra Penghinaan Presiden

Senada dengan Nasir, Arsul berpendapat putusan MK yang telah menghapus pasal itu mengikat bagi semua pihak, termasuk lembaga negara.

Toh, ujar Arsul, Presiden dapat melaporkan penghinaan yang ia terima dalam kapasitas sebagai pribadi karena hak hukum presiden sebagai individu tak hilang ketika menjabat.

“Sifatnya harus delik aduan. Kalau pasal penghinaan presiden sifatnya delik biasa,” kata Arsul.

Dalam delik aduan, perkara diproses bila ada pengaduan atau pelaporan dari pihak yang dirugikan, dalam hal ini presiden. Sementara dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa pengaduan dari pihak yang dirugikan. (Baca juga: Dalih Hukum Pemerintah Soal Pasal Penghinaan Presiden)

PPP, ujar Arsul, cenderung menolak pasal penghinaan presiden. Namun partai Kabah itu masih mungkin menerima dengan sejumlah syarat, misalnya bunyi pasal diubah dan delik pidana diganti menjadi delik aduan.

Jokowi secara terpisah menampik pasal penghinaan presiden bertujuan untuk membungkam kritik terhadapnya. Selama menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga kini Presiden, Jokowi menegaskan tak pernah memperkarakan orang-orang yang menghinanya. (Baca Jokowi: Pasal Penghinaan Presiden Diusulkan Pemerintah Lalu) (rdk/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER