Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Keuangan DPRD DKI Jakarta, Santoso, menyebut ada ketidakwajaran dalam proses pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dilakukan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Dia mempertanyakan cara negosiasi Ahok pada saat menawar harga lahan tersebut.
"Ada ketidakwajaran dalam pembelian. Memang prosesnya dilakukan sesuai dengan standar. Tapi kok seperti enggak ada negosiasi?," ujar Santoso kepada CNN Indonesia, Rabu, (13/8).
Politisi Fraksi Partai Demokrat ini menjelaskan, dari hasil penelusuran Badan Pemeriksa Keuangan diketahui pada proses penawaran pertama yang dilakukan oleh PT Ciputra Karya Utama kepada pihak RS Sumber Waras, harga yang ditawarkan berkisar Rp 500 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, begitu Pemda masuk untuk nawar, kenapa bisa jadi lebih dari Rp 700 miliar?" katanya.
Santoso mengatakan, memang sudah menjadi hal yang jamak ketika ada masyarakat perorangan atau perusahaan mengetahui lahannya akan dibeli oleh Pemerintah Daerah. Hanya saja, dia mempertanyakan penawaran yang dilakukan Ahok ataupun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mengurus proses pembelian lahan tersebut.
"Mungkin SKPDnya lalai. Tapi masa iya enggak ada negosiasi?" ujar Santoso.
Masih berlanjutnya masalah pembelian lahan ini, Santoso mengungkapkan, besar kemungkinan panitia khusus DPRD akan meminta Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan tindak lanjut tahap dua.
Ksiruh soal pembelian lahan RS Sumber Waras yang dilakukan Pemprov DKI tahun lalu, hingga kini masih menjadi salah satu masalah terbesar dalam temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Dalam laporannya BPK mengatakan pembelian lahan itu membuat pemerintah merugi sampai Rp 191 miliar.
Namun, pihak Pemprov DKI tidak mau disalahkan begitu saja. Mereka berdalih apa yang dilakukan sudah benar dan sesuai aturan.
Terkait dugaan adanya penggelembungan harga yang membuat pemerintah merugi ratusan miliar, Pemprov DKI justru mengatakan mereka menghemat sampai Rp 52 miliar untuk membeli lahan tersebut.
Urut-urutan Pembelian Lahan Rp 800 miliarBerdasarkan kronologi yang dibuat oleh BPK, masalah bermula ketika pada 6 Juni 2014, Plt Gubernur yang saat itu dijabat oleh Ahok berminat membeli sebagian lahan seluas 3,6 hektar milik RS Sumber Waras untuk dijadikan rumah sakit jantung dan kanker.
Pembelian lahan dilakukan karena menurut Ahok kala itu, keberadaan rumah sakit untuk pasien sakit jantung dan kanker sangat diperlukan karena kondisi pasien rumah sakit yang ada kian membludak.
Di sisi lain, hal ini juga dilakukan karena sebelumnya lahan tersebut akan dibeli oleh PT Ciputra Karya Utama dan diubah peruntukkan menjadi tempat komersil seperti mal.
Pada 16 Juni 2014, Pihak Rumah Sakit Sumber Waras menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat kontrak atau kerjasama dengan PT Ciputra Karya Utama.
Namun, pada 27 Juni 2014, pihak Rumah Sakit Sumber Waras mengirim surat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia menjual lahan tersebut. Mereka pun memasang harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) senilai sekitar Rp 20 juta untuk lahan tersebut.
NJOP tersebut sama dengan sebagian lahan milik RS Sumber Waras lainnya yang dikelola oleh Yayasan Sumber Waras yang memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa. Sementara lahan yang ditawarkan kepada Pemprov DKI berada di bagian belakang dekat Jalan Tomang Utara, Jakarta Barat.
Kemudian pada 7 Juli 2014, pihak RS Sumber Waras kembali mengirim surat kepada Pemprov DKI. Keesokan harinya, yaitu 8 Juli 2014, Plt Gubernur Ahok mendisposisikan surat tersebut ke Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI yang kala itu masih dijabat oleh Andi Baso untuk menyiapkan anggaran senilai Rp 20 juta, tanpa proses negosiasi.
Selang beberapa bulan kemudian, yaitu pada 14 November 2014, Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI mengeluarkan hasil kajian terhadap lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Dinkes DKI mengatakan lahan itu layak dibeli karena memenuhi beberapa syarat, yaitu tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan besar, jangkauan luas, dan luas lahan yang lebih dari 2500 meter persegi.
Sayangnya, BPK menilai lahan tersebut tidak memenuhi lima syarat yang dikeluarkan Dinkes DKI itu sendiri. BPK menilai lahan itu tidak siap bangun karena banyak bangunan, merupakan daerah banjir dan tidak ada jalan besar.
Kemudian pada 10 Desember 2014, Pemprov DKI secara resmi telah menunjuk lokasi pembelian lahan. Esoknya, pada 11 Desember 2014, pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras membatalkan perjanjian dengan PT Ciputra Karya Utama, karena beralih kerja sama dengan Pemprov DKI.
Pada 15 Desember 2014, bendahara umum Pemprov DKI pun mentransfer uang senilai Rp 800 miliar ke Dinkes DKI untuk mengeksekusi pembelian lahan tersebut. Kemudian pada 30 Desember 2014, Dinkes DKI membayar kepada Rumah Sakit Sumber Waras dalam bentuk cek.
Pada 31 Desember 2014, cek tersebut pun dicairkan oleh pihak Rumah Sakit Sumber Waras.
Salah satu masalah utama yang menyebabkan pembelian lahan ini menjadi temuan BPK adalah terkait harga NJOP. Menurut BPK, lahan yang dibeli Pemprov DKI NJOP-nya hanya sekitar Rp 7 juta. Tapi, kenyataannya DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta dinilai BPK merupakan NJOP tanah di bagian depan, yang masih menjadi milik pihak Rumah Sakit Sumber Waras.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Heru Budi Hartono menjelaskan untuk besaran NJOP yang dipermasalahkan, lahan tersebut memang memiliki dua sertifikat, tapi berada pada satu zona.
"Yang saya mau tekankan disini, zona itu tidak terkait dengan akses jalan segala macam. Kalau satu zona ya, satu zona, tidak ada urusan dengan jalan Kyai Tapa atau Tomang. Yang namanya zona, walaupun dibelah lima atau enam kalau menjadi satu zona, ya zona Rp 20 juta itu," ujar Heru.
Sementara itu, Kepala Dinkes DKI Koesmedi Priharto mengatakan, tidak ada yang tahu tentang peraturan zonasi yang dibuat oleh BPK. Bahkan petugas pajak pun tak tahu tentang hal ini.
"Orang pajak juga tidak tahu kalau ada dua sertifikat sehingga SIPPT-nya (Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah) harus dipisahkan," kata Koesmedi.
(meg)