Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku tidak mempersoalkan perihal enam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap Pemprov DKI. Ahok justru meminta tim panitia khusus untuk membahas prosedur penyerahan LHP yang dinilai tidak wajar.
Ahok menyatakan keheranannya mengapa pada tahun ini BPK tidak menyerahkan LHP kepada pihak eksekutif. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, baik DPRD DKI maupun Gubernur mendapatkan masing-masing satu LHP.
(Baca Juga: BPK Temukan Enam Penyimpangan Signifikan Tanpa Kasus UPS)"Pansus harusnya mengarah ke situ," kata Ahok saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, Selasa (18/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ahok, penting untuk mengetahui alasan BPK tidak menyerahkan LHP kepada pihaknya dalam rapat paripurna penyampaian LHP di DPRD DKI. Sebab, hal ini yang dinilai Ahok sangat janggal.
(Lihat Juga: DPRD Jakarta Tak Bahas Penyimpangan Pengadaan UPS versi BPK)"Ini harus diteliti siapa yang main. Itu menyalahi undang-undang. Harus dibuat Pansus kenapa buku dikasih ke Sekda (Sekretaris Daerah) tanpa kuasa dari saya," ujar Ahok.
Di sisi lain, menurut Ahok masalah temuan BPK dalam LHP tersebut bukanlah urusan DPRD DKI, tapi urusan BPK.
Pansus tindak lanjut LHP BPK terdiri dari 27 orang yang dikoordinatori oleh empat pimpinan DPRD, yaitu ketua dan wakil ketua DPRD, dan ketua pansus serta wakilnya.
Ketua pansus adalah Triwisaksana dengan wakil Cinta Mega dan Prabowo Sunirman. Sementara tim tindaklanjut dari pihak Pemprov diketuai oleh Wagub Djarot Saiful Hidayat.
Pansus bertugas membantu Pemprov DKI dalam menangani temuan BPK tersebut. Hingga saat ini sudah dilakukan pembahasan terhadap empat temuan BPK dari jumlah enam temuan.
Enam temuan tersebut antara lain terkait aset tanah DKI di Mangga Dua, pengadaan tanah Sumber Waras, Inbreng kepada PT Transjakarta yang tidak sesuai ketentuan, penyerahan aset Inbreng yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal pemerintah (PMP) pada BUMD, kelebihan pembayaran asuransi kesehatan senilai Rp 3,7 miliar, dan penyimpangan dana bantuan operasional pendidikan.
(utd)