Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memutus bebas dua guru Jakarta Internasional School (JIS, sekarang Jakarta Intercultural School) tidak sensitif. Dua guru tersebut awalnya didakwa melakukan kejahatan seksual terhadap muridnya.
"Harus ada sensitifitas hakim terkait dengan komitmen perlindungan anak," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Soleh saat ditemui CNN Indonesia di kantornya, Jakarta, Selasa malam (19/8).
Dia mengatakan, dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak, hakim harus bisa melakukan pendekatan pembuktian luar biasa. "Hakim harus memiliki persepektif yang sama bahwa ini adalah kejahatan luar biasa, tidak bisa dengan pendekatan konvensional. Itu penting," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga mengatakan, putusan bebas terhadap Neil Bantleman dan Ferdinan Tjiong, dua guru yang telah diputus bebas itu adalah kabar buruk bagi upaya perlindungan anak. Keputusan ini juga mendegradasi dan mendemoralisasi pegiat perlindungan anak.
Karena itu, KPAI telah melakukan pertemuan internal dengan mitra-mitranya, termasuk para pegiat perlindungan anak, untuk membicarakan langkah lebih lanjut yang akan dilakukan terkait keputusan itu.
Namun, ketika ditanyai apa saja langkah konkret yang dia maksud, Asrorun tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
Kabar putusan bebas terhadap Bantleman dan Tjion pertama kali disampaikan oleh kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea, Jumat pekan lalu. “Dalam putusan Pengadilan Tinggi pada 10 Agustus dinyatakan keduanya tidak bersalah," kata Hotman saat itu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kedua guru itu mengajukan banding atas keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta setelah dijatuhi hukuman penjara masing-masing 10 tahun. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelecehan seksual kepada muridnya, AL.
Hotman menilai kasus pelecehan seksual yang menimpa kliennya merupakan rekayasa karena tidak ada bukti dan pembuktian yang lemah. "Keputusan hakim Pengadilan Jakarta Selatan amburadul," ujarnya.
Dia mempersoalkan pertimbangan hakim yang menganggap kunjungan Duta Besar Inggris sebagai bukti petunjuk. Selain itu, dia juga mengklaim salah satu dokter di Rumah Sakit Pondok Indah, tempat korban melakukan visum, menyebut tidak ada pelecehan seksual.
"Saat datang ke IGD juga cuma diperiksa satu jam, mana ada alat anuskopi di IGD. Di Singapura untuk anuskopi harus dilakukan bius total," katanya.
Terkait putusan ini, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah memastikan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. KPAI pun secara formal menyatakan dukungan terhadap langkah ini.
Sebelumnya, JIS juga telah memenangi gugatan pencemaran nama baik yang diajukan DR, ibu AL, di Pengadilan Singapura.
Dalam vonis putusan dengan nomor perkara 779 tahun 2014 yang diputus pada 16 Juli 2015, Pengadilan Singapura menyatakan bahwa semua tuduhan DR terkait tindak kekerasan seksual terhadap AL yang dilakukan oleh Neil dan Ferdi tidak terbukti.
Pengadilan Singapura juga mengharuskan DR membayar ganti rugi total sebesar Sin$230 ribu atau sekitar Rp2,3 miliar. Dari jumlah itu, DR harus membayar kepada Neil dan Ferdi sebesar Sin$ 130 ribu. Kemudian ganti rugi kepada JIS sebesar Sin$ 100 ribu, karena ulah DR dinilai telah merugikan sekolah.
(sur)