Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksana Tugas Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Indriyanto Seno Adji menilai wajar permintaan bekas Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo (HP) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menunda sidang Peninjauan Kembali (PK).
"HP bukan sarjana hukum, jadi baca memori PK sepertinya rumit dan sulit," ujar Indriyanto di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/8).
Kemarin (19/8), Hadi Poernomo meminta penundaan kepada Hakim Ketua I Ketut Tirta dengan alasan tidak adanya penasehat hukum yang mendampinginya di persidangan. Menanggapi itu, Indriyanto mengaku dapat memahami permintaan tersebut. (Baca:
Tak Punya Kuasa Hukum, Sidang Hadi Poernomo Ditunda)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Hadi Poernomo tentu memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri dalam menjawab memori PK yang diajukan lembaga antirasuah. Ia pun mengatakan sesungguhnya memori PK yang diajukan bersifat umum dan tak ada yang rumit.
Kendati demikian, Indriyanto enggan untuk mengungkapkan isi dari memori PK. Menurutnya, hal tersebut nantinya akan terungkap di persidangan. "Selama belum dibacakan secara resmi di pengadilan, tidak etis (diberitahukan) dalam hukum acara," tutur Indriyanto. (Baca:
KPK Siap Hadapi Sidang PK Praperadilan Hadi Poernomo)
Dalam persidangan kemarin, Hadi Poernomo selaku termohon mengajukan penundaan hingga tiga pekan. Namun permintaan tersebut ditolak. Persidangan pun akan dilanjutkan pada Kamis (27/8) pekan depan. Persidangan tersebut nantinya akan memiliki agenda pembacaan permohonan dari KPK selaku pemohon dan penyampaian pendapat dan pengajuan bukti-bukti dari pihak termohon.
PK terhadap putusan praperadilan perkara nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel diajukan KPK karena dinilai ada sejumlah putusan yang melampaui wewenang. Apabila PK dikabulkan, putusan praperadilan yang membatalkan status Hadi sebagai tersangka dalam kasus penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia Tbk tahun 1999 kepada Bank BCA menjadi tidak sah.
Sebelumnya, Hadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014 atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak bank tersebut. Negara ditaksir merugi hingga Rp 375 miliar. Atas perbuatannya, Hadi kala itu disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
(obs)