Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berkali-kali mengajak warganya untuk kembali ke fitrah. Ia berharap, penduduk ibu kota dapat meneruskan apa yang telah diwariskan leluhur-leluhur Betawi: hidup secara tertib dan berbudaya.
"Ini tanah Betawi, tanahnya orang yang pakai aturan. Orang Betawi adalah orang yang banyak salat," ujarnya kepada ratusan pengunjung Lebaran Betawi di Lapangan Banteng, Jakarta, kemarin.
Apa yang disampaikan Ahok sebenarnya merupakan cara hidup mendasar penduduk sebuah kota yang berbudaya, seperti menjaga kebersihan lingkungan, mengenakan helm saat mengendarai motor hingga tidak melawan arus lalu lintas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, realitas yang terjadi setiap hari di Jakarta memang berkebalikan dari harapan Ahok.
Bekas Bupati Belitung Timur ini berkata, tidak sedikit masyarakat Betawi yang sukses membangun karier dan kehidupannya. Menurutnya, fakta itu membuktikan bahwa setiap penduduk Jakarta memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pribadi yang berbudaya.
"Sekali lagi, betawi bukan berarti keterbelakangan. Ada yang menjadi gubernur, ada jenderal, ada budayawan, ada profesor," tutur Ahok.
(Baca: Akhirnya, DKI Punya Perda Lindungi Budaya Betawi)Untuk mengembalikan Jakarta sebagai kota yang berbudaya, Ahok pun meminta warganya untuk percaya dan bekerja sama dengan pemerintahan yang ia pimpin. "Harapan kami, bagaimana kepala, perut, dompet warga Jakarta itu bisa penuh," ungkapnya.
"Saya berharap bapak dan membantu kami. Jangan biarkan sanak famili ataupun tetangga Anda tidak sekolah karena tidak mampu. Biarkan kami yang mengurus itu semua," ucap Ahok lagi.
Di hadapan warga yang berjejal dan sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta yang kerap menjadi seterunya, Ahok pun kemudian membeberkan sejumlah program pemprov.
(Baca: Ahok Minta Gedung di DKI Pasang Ornamen Budaya Betawi)Program-program itu antara lain, pendirian 50 ribu unit rumah susun sederhana sewa bagi warga bantaran kali, pembukaan panti wreda bagi warga berusia lanjut, pembangunan kereta api layang ringan serta pembukaan lahan terbuka hijau.
"Kami tak ingin kepala, perut, dompet Anda kempes. Kami mau kepala, dompet, perut itu penuh. Kalau kepala penuh artinya ajaran budaya, agama, dan pendidikan tercapai. Perut penuh artinya kita bisa makan banyak," ujarnya.
(obs)