Lebak, CNN Indonesia -- "Semua kalau masak pakai
hawu. Di sini listrik cuma untuk lampu," kata Abah Aden, pemimpin masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten.
Hawu adalah istilah bahasa Sunda untuk tungku. Meski tidak menolak masuknya teknologi, Abah masih menjaga nilai-nilai tradisi di Kasepuhannya.
Masyarakat lain diperbolehkan untuk mengadopsi kemajuan teknologi di Pasir Eurih. Walau demikian, tradisi adalah harga mati yang mesti dijaga Abah beserta para Baris Olot, jajaran pengurus lembaga adat Kasepuhan yang membantunya dari hari ke hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain tidak menggunakan listrik untuk keperluan memasak, Abah juga enggan menggunakan bibit padi dan pupuk bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu, masyarakat Kasepuhan yang berpegang teguh pada tradisi ini hanya bisa memanen sawahnya setahun sekali.
Sama seperti soal listrik, Abah juga memperbolehkan warganya menggunakan bantuan pemerintah. Dengan begitu, mereka bisa memanen sawahnya dua kali dalam setahun.
Abah tidak banyak bicara. Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan gambaran umum dari masyarakatnya, dia mempersilakan putranya, Rustansa, untuk mengambil alih. Langkah berat Abah perlahan menjauh ke arah dapur di bagian belakang rumahnya.
Rustansa bertindak sebagai pangiwa. Pangiwa adalah salah satu Baris Olot yang bertugas mengurusi ketertiban umum. Selain itu, dia juga bisa mewakili Abah Aden jika ada yang urusan kelembagaan dengan Kasepuhan.
"Ada pangiwa, ada juga juru basa. Sebelum ke Abah, kalau ada kepentingan juru basa yang bicara," kata Rustansa dengan logat Sunda yang kental.
Lestarikan RitualRustansa mengatakan, tugas Baris Olot adalah meneruskan adat. Dalam bidang pertanian, berdasarkan adat, ada tujuh tahapan yang harus ditempuh dengan ritual-ritual.
"Sampai sekarang masih tetap dilestarikan karena ada sejarahnya. Kalau tidak maka sejarah ini akan musnah," kata dia.
 Rustansa dan Jamai, anggota Baris Kolot Kasepuhan Pasir Eurih di Kediaman Abah Aden, Kabupaten Lebak, Banten, Selasa malam (11/8). (CNN Indonesia/ Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Tahap pertama adalah
asup leuweung yang secara harfiah berarti masuk ke hutan. Pada tahap ini, masyarakat melakukan ritual menandakan masa bertani akan dimulai. Sejak masa nenek moyang, masyarakat Kasepuhan sudah melakukan ritual tersebut.
Waktu
asup leuweung ini berbeda-beda setiap tahunnya. Seorang Baris Olot ditugaskan untuk menghitung kapan waktu yang tepat untuk bertani.
"Sejauh ini belum pernah salah hitung. Lihat saja sekarang kemarau tidak pernah hujan, kalau mulai sekarang padi akan mati semua," kata Rustansa.
Kemudian ada lagi tahap-tahap selanjutnya. Di antaranya adalah
ngibakeun yang artinya memandikan padi,
ngubaran yang artinya memberi obat padi,
mapag pare beukah atau menjemput padi tumbuh, dan
beberes atau beres-beres.
Setelah itu, ketika sudah dikeringkan, padi akan dibawa ke rumah menggunakan rengkong atau pikulan. Selanjutnya, padi yang sudah dikeringkan disimpan di lumbung yang disebut leuit. Bangunan kayu seukuran 2 x 3 meter beratap ijuk itu bisa menjaga kualitas padi sampai puluhan tahun.
Setelah dibawa ke
leuit, masyarakat kembali mengadakan ritual yang disebut
ngadiukeun. Ketika padi pertama kali dimakan, ada lagi ritual yang disebut
nganyaran. Di akhir masa tani, diadakan upacara
seren tahun.
Seren tahun adalah perayaan masa panen yang juga menandakan dimulainya tahun tani baru. Upacara ini biasanya turut diramaikan oleh Kasepuhan tetangga dan warga dari luar desa, bahkan luar kota.
"Intinya kami bersyukur atas hasil yang ada dan sekaligus meminta agar panen ke depan bisa melimpah,” kata Rustansa menjelaskan upacara yang berlangsung selama tiga hari tiga malam itu. Seren tahun terdekat rencananya akan diadakan 30 Agustus tahun ini.
Masyarakat tidak berani melawan peraturan adat. Ritual-ritual itu selalu diikuti oleh segenap masyarakat desa. Daripada kepada pemerintah, masyarakat lebih takut kepada Baris Olot dan ancaman bala yang mengintai, kata Rustansa. Begitu pula dalam masalah menjaga kelestarian hutan.
 Leuit, lumbung khas masyarakat Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (12/8). (CNN Indonesia/ Rinaldy Sofwan) |
"Adat sekali tidak boleh maka tidak boleh, tidak bisa diganggu gugat. Tidak seperti hukum yang ada sekarang, gampang digeser-geser," ujarnya.
Merawat Hutan Dalam menjaga kelestarian alam dan hutan, masyarakat Kasepuhan membagi kawasan hutan menjadi hutan tutupan, titipan dan garapan.
Maman Syahroni, salah satu keturunan pemimpin Kasepuhan Pasir Eurih, mengatakan, peraturan itu sudah diturunkan dari generasi ke generasi.
Hutan tutupan merupakan wilayah penyangga di mana tidak boleh terdapat aktivitas penebangan kayu dan hanya boleh diambil produk non kayu.
Sementara, hutan titipan merupakan wilayah konservasi adat dan meliputi 50 persen dari keseluruhan area hutan. Lalu, untuk semua aktivitas warga biasanya berada di hutan garapan.
Berbeda dengan masyarakat lainnya, penampilan Maman terlihat lebih modern. Mengenakan kemeja dan tidak menutup kepalanya dengan ikat rambut khas Sunda, dia mengatakan, masyarakat Kasepuhan telah menerima kemajuan teknologi sejak awal 2000-an.
Lulusan Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan itu mengatakan, televisi dan telepon genggam sekarang sedikit-sedikit mulai merambah di desa tempat tinggalnya.
Walau demikian, masyarakat tetap memegang teguh kepercayaan bahwa bala penyakit akan menghampiri jika menyentuh kawasan hutan selain di gunung garapan.
Dengan begitu, masyarakat bisa terus melestarikan hutan meski tidak menjadi bagian dari Taman Hutan Nasional Gunung Halimun.
"Sebenarnya yang dilarang Taman Nasional kami juga melarang," kata Maman.
Masyarakat Kasepuhan kini sedang mengharapkan pengakuan pemerintah sehingga bisa tetap menjaga kelestariannya secara adat. Semenjak perluasan Taman Nasional pada 2003 silam, warga tidak diperbolehkan untuk mengolah hutan garapan yang merupakan sebagian kecil dari kawasan itu.
Di satu sisi, masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat mesti bergantung pada sumber daya dari hutan untuk bertahan hidup. Di sisi lain, sumber penghidupan mereka telah diklaim milik negara. Masyarakat bisa dituduh mencuri di tempat tinggal yang sudah mereka tempati dari masa ke masa.
"Kami ingin lepas dari Taman Nasional, jadinya nanti kalau ada yang melanggar pun sanksi dari adat. Kami tidak mau lagi dengan taman nasional," kata Maman.
Pengakuan pemerintah menjadi penting dalam rangka memenuhi kembali hak warga adat. Selain menjaga tradisi yang sedikit-sedikit telah tersentuh kehidupan modern, pengakuan itu menjadi salah satu cara untuk menjaga alam.
(utd/utd)