Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten, telah berjuang memperoleh pengakuan sejak 2003 lalu, saat perluasan sepihak kawasan Taman Nasional Gunung Halimun mencaplok tempat tinggalnya.
Perjuangan itu tak kunjung berbuah hasil, meski pada 2006 sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti HuMa, Rimbawan Muda Indonesia dan Epistema mulai mengadvokasi mereka.
(Baca Juga: Kementerian LHK Akui Kawasan Adat sebagai Hutan Hak)
Angin segar mulai berhembus saat Mahkamah Konstitusi menyatakan kawasan hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Keputusan Nomor 35 itu baru terbit 2012 lalu.
(Lihat Juga: Masyarakat Adat Minta Diakui Negara)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, situasi dan kondisi politik di Kabupaten Lebak pun turut menyiratkan pengakuan yang telah lama dinanti akan segera tiba. Manajer bidang Masyarakat dan Hukum Epistema Institute, Yance Arizona, mengatakan ada perubahan berarti di peta politik daerah tersebut.
(Baca Juga: Satgas Masyarakat Adat Diharapkan Sukses Lakukan Rekonsiliasi)"Proses itu sudah berlangsung lama, tapi sekarang ada peluang politik yang lebih terbuka. Wakil Bupati itu orang Kasepuhan, Ketua DPRD juga," kata Yance.
Dengan demikian, para pejabat itu punya tanggungjawab moral untuk mengembalikan hak masyarakat adat yang telah terenggut selama lebih dari satu dekade ini.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lebak kini tengah menggarap peraturan daerah untuk mengakui keberadaan dan kawasan adat masyarakat Kasepuhan. Pengakuan itu, menurut Yance, selain mengembalikan hak masyarakat adat, juga akan membantu meningkatkan kesejahteraannya.
"Yang jadi masalah, masyarakat Kasepuhan tidak dipandang sebagai subjek hukum dan pembangunan. Penegasan Kasepuhan dalam perda penting untuk mereka mendapatkan kepastian hukum," kata Yance.
"Kalau jadi subjek hukum, pemerintah daerah bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Selama ini banyaknya bantuan sosial yang tidak bersifat mengikat. Diajukan lewat proposal dan bukan termasuk dalam anggaran," ujarnya melanjutkan.
Ketua DPRD Djunaedi Ibnu Jarta mengamini hal tersebut. Perda yang dia targetkan akan selesai pada akhir tahun ini nantinya akan dijadikan dasar untuk mengalokasikan anggaran dengan tujuan menyejahterakan masyarakat Kasepuhan.
Dia juga mengakui, latar belakangnya sebagai bagian dari masyarakat adat menjadi salah satu alasan untuk mengupayakan pengakuan.
"Saya lihat, karena saya juga bagian dari masyarakat adat. Saya tidak melihat Kasepuhan hanya sebatas komunitas, tapi sebuah entitas kebudayaan yang harus dilestarikan,"ujarnya.
Tak hanya itu, dia juga mengatakan, tidak ada alasan untuk tidak mengakui masyarakat adat. Selain berkesesuaian dengan konstitusi, peraturan daerah soal pengakuan ini juga tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada di atasnya.
Djunaedi mengatakan, yang menjadi kendala dari upaya-upaya sebelumnya adalah ketidaksepakatan antara eksekutif dan legislatif untuk mencapai sebuah produk hukum yang mengikat.
"Ada miskomunikasi karena ini juga berkaitan dengan politik," kata Djunaedi.
Dalam upaya merealisasikan peraturan daerah ini pun, bukan berarti tanpa kendala. Djunaedi mengatakan ada tarik ulur kepentingan dan perbedaan pandangan mengenai konsep masyarakat adat itu sendiri.
Walau demikian, dia mengaku optimistis peraturan daerah tersebut dapat diselesaikan pada Oktober atau November tahun ini.
"Semua fraksi belum menunjukkan pertentangan, masih kooperatif," ujarnya.
Selain itu, perjuangan selama lebih dari satu dekade sudah terlalu berkepanjangan jika tidak segera ditanggapi dengan langkah konkret pemerintah.
Sebenarnya, sebelum masa kepemimpinan Djunaedi pun, Ketua Dewan sebelumnya, Ade Sumardi, sudah mengupayakan pengakuan masyarakat adat. Menurut Djunaedi, dia hanya melanjutkan apa yang sudah dicanangkan oleh Ade.
"Perbedaannya, itikad baik itu dulu sudah ada, cuma belum konkret. Saya lebih melakukan upaya yang konkret," ujarnya.
(utd)