Perintah Siasat No.1, Senjata Soedirman Kalahkan Spoor

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Selasa, 25 Agu 2015 17:43 WIB
Perintah Siasat No. 1 itu intinya adalah memerintah sebuah perang gerilya melawan Belanda.
Para aktor, sutradara, dan produser film Jenderal Soedirman berbaris di depan panggung dalam syukuran produksi film Jenderal Soedirman di Balai Sudirman, Jakarta, Selasa (20/1). Film tersebut merupakan film biografi pejuang kemerdekaan Jenderal Soedirman. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Jakarta, CNN Indonesia -- Panglima Besar Jenderal Soedirman punya musuh utama. Dia adalah Jenderal Spoor, Panglima Angkatan Perang Belanda di Indonesia.

Untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda tidak hanya menggunakan jalan diplomasi tetapi juga angkatan perang. Semenjak Sekutu meninggalkan Indonesia pada November 1946, Belanda diserahi tugas menyelesaikan sengketa secara damai dengan Indonesia melalui perundingan. Tugas yang setengah dilakukan karena Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.

Agresi Militer II Belanda ini bukanlah aksi militer yang dilakukan secara tiba-tiba. Aksi ini dirancang salah satunya oleh Jenderal Spoor. Aksi ini sebagai lanjutan atas Persetujuan Linggarjati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agresi Militer II Belanda ini adalah implementasi dari Operasi Kraai. Operasi itu dirancang sejak Oktober 1948 dan terus diperbaharui menyesuaikan dengan kondisi dan situasi. Syarat yang harus dipenuhi dalam operasi itu adalah pasukan Belanda yang ada di Jawa dan di Sumatera harus dalam kekuatan penuh, tidak boleh dikurangi.

Titik utama dalam Operasi Kraai itu adalah bukan penguasaan kembali Indonesia, terutama Jawa dan Sumatera, tetapi melenyapkan Pemerintahan RI dan Angkatan Perangnya dan penguasaan atas beberapa daerah kunci. Sasaran utamanya tentu saja Yogyakarta yang waktu itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia.

Yogyakarta adalah jantung perlawanan karena di sana ada pemimpin RI dan pemimpin angkatan perang RI. Jika Operasi Kraai ini berlangsung sukses, Belanda yakin akan mampu menguasai kembali Indonesia. (Baca juga: Perintah Kilat No. 1 Soedirman, Tulisan di Secarik Kertas)

Operasi Kraai ini tampaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh Blitzkrieg yang digunakan Jerman pada Perang Dunia II, terutama ketika menguasai Polandia pada 1939. Jerman dengan kekuatan penuhnya mengagresi dan menguasai tetangganya, Polandia. Itu mengapa, syarat utama Operasi Kraai adalah kekuatan Angkatan Perang Belanda yang ada di Jawa dan Sumatera tidak boleh dikurangi.

Angkatan Perang Indonesia yang baru terbentuk itu juga sudah membaca kemungkinan agresi militer Belanda usai Perjanjian Linggarjati. Sebagaimana dikutip dari buku “Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor versus Jenderal Sudirman” (2006) karangan Letjen (Purn) Himawan Soetanto, pada Mei 1948, diadakanlah rapat panglima TKR.

Dalam rapat itu kemudian disepakati beberapa hal yang kemudian dirangkum dalam Perintah Siasat No.1 Panglima Besar. Perintah Siasat No.1 itu secara garis besar bisa disimpulkan adalah melakukan perang gerilya. Perang kecil-kecil secara terus menerus yang melelahkan. Perintah Siasat No.1 itu dikeluarkan Jenderal Soedirman pada 12 Mei 1948 pukul 13.00 WIB.

Persoalan kemudian adalah kapan perintah siasat itu akan dijalankan. Pada saat Agresi Militer II Belanda 19 Desember 1948, Perintah Siasat No.1 itu dijalankan oleh Perintah Kilat No.1 yang kabarnya ditulis tangan langsung oleh Jenderal Soedirman.

Operasi Kraai itu boleh dibilang setengah berhasil. Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda, dan Presiden Soekarno dan Hatta berhasil ditangkap. Tetapi, pemimpin Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Soedirman gagal ditangkap. Dia lolos dari serangan Belanda dan memulai perang gerilya.

Jenderal Soedirman yang sakit bergerak dari Yogyakarta ke selatan melakukan perjalanan ke Bantul, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, Kediri, Gunung Lawu di mana di sana dirancang Serangan Umum 1 Maret 1949. Selama hampir tujuh bulan dengan jarak hampir 1.000 km Panglima Besar Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya. Sebuah perang yang kemudian menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Angkatan Perang RI masih ada. (Baca juga: Jenderal Soedirman dan Anjuran Ndelik yang Ditolak)

Keberhasilan Jenderal Soedirman dalam mengalahkan Jenderal Spoor bukan semata-mata karena Perintah Siasat No.1 yang memerintahkan perang gerilya. Sebagaimana dikutip dari buku “Jenderal Sudirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia,” (1992) karangan Cokropranolo, keberhasilan perang gerilya tak lepas dari kondisi sosial dan geografis Indonesia. Hal itu sering kali diungkapkan Jenderal Soedirman dalam pidato-pidatonya kepada jajaran Angkatan Perang RI:

Kita beruntung karena Allah SWT telah memberikan kepada kita gunung-gunung, lembah-lembah, hutan-hutan, sungai-sungai dan kekayaan alam lainnya yang memungkinkan kita dapat bertahan melakukan perang gerilya melawan musuh yang alat persenjataannya lebih lengkap, dengan jiwa dan semangat perjuangan yang lebih teguh dari pada lawan.”

Usai kembali ke Yogyakarta pada Juli 1949, Soedirman meminta Soekarno untuk kembali melanjutkan perang gerilya belajar dari pengalaman sebelumnya di mana Belanda selalu mengingkari perjanjian. Permintaan ditolak yang membuat hubungan Soedirman dan Soekarno kembali tegang.

Soedirman menyebut akan meletakkan jabatan yang dibalas Soekarno dengan pernyataan serupa. Soedirman pada 18 Desember 1949 dilantik menjadi Panglima Besar TNI untuk Republik Indonesia Serikat dan pada 28 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar.

Soedirman sekembalinya ke Yogyakarta dari perang gerilya, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih untuk penyakit TBC nya. Dia kemudian dipindah ke sanatorium dekat Pakem dan pada akhir Desember 1949 dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang. Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 WIB tanggal 29 Januari 1950. Kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.

Soedirman di makamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta hari itu juga saat senja. Pemakamannya diiringi oleh pengibaran bendara setengah tiang di seluruh negeri sebagai tanda berkabung yang dalam.

BACA FOKUS: Mengenang Jenderal Besar Soedirman (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER