17 Tahun Berjuang, Saudara Wiji Thukul Tak Pernah Lelah

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Selasa, 12 Mei 2015 15:19 WIB
Saudara Wiji Thukul, Zaenal Muttaqin, terus berjuang keadilan bagi korban Mei 1998 dengan mengadakan aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Seorang mahasiswa mengikuti Peringatan 17 Tahun Tragedi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta, Selasa (12/5). (AntaraFoto/ Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Beragam cara dilakukan keluarga korban kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) pada 1998 silam untuk memperjuangkan kerabat yang telah direnggut nyawanya secara paksa. Sampai kini, mereka masih berharap pemerintah mau mengakui tragedi kemanusiaan tersebut.

Salah satu kasus pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi adalah penghilangan paksa 13 aktivis yang gencar mengkritik rezim Soeharto. Widji Widodo atau populer dengan nama Wiji Thukul adalah salah satu aktivis yang hilang pada masa kekacauan massal tersebut. Lewat puisi dan orasinya, Wiji getol mengkritik pemerintah yang otoriter dan sewenang-wenang.

Wiji lahir di Solo, 26 Agustus 1963 dan terkenal sebagai penyair dan aktivis Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jakker) serta Partai Rakyat Demokratik (PRD). Beberapa puisinya yaitu: Sajak Suara, Sajak kepada Bung Dadi, Apa Guna, Lingkungan Kita si Mulut Besar dan Nyanyian Akar Rumput. (Baca Juga: FOKUS Menanti Sikap Jokowi soal Mei 98)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saudara Wiji, Zaenal Muttaqin, sampai kini aktif menggalang persatuan di antara keluarga korban. Di Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Zaenal menjabat sebagai sekretaris umum.

Lewat organisasi tersebut, Zaenal masih aktif melakukan perjuangan demi sebuah pengakuan, yang tak lain adalah pengakuan dari negara atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM. (Baca Juga: Tak Diakui Negara, Korban Perkosaan Mei 98 Pilih Bungkam)

Sudah delapan tahun lamanya, Zaenal melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara. Terkadang ia mengaku lelah namun ia dengan yakin mengatakan tidak akan berhenti begitu saja.

"Di Argentina, para keluarga korban kasus Plaza de Mayo berjuang selama 25 tahun. Akhirnya, kasus itu pun diungkap. Ini jadi contoh untuk kami. Bagi kami, Kamisan selama delapan tahun belum seberapa," katanya kepada CNN Indonesia, saat ditemui di Mal Citra Klender, Jakarta Timur, Selasa (12/5).

Zaenal masih ingat betul sosok Wiji. Sebelum Wiji menghilang pada 1998, usia Zaenal 17 tahun. Di matanya, Wiji adalah sosok yang humoris di tengah keluarganya. "Namun, ketika dia sedang berorasi, dia terlihat sebagai sosok yang keras," kata Zaenal. (Baca Juga: Tabur Bunga Tragedi Mei 98 di Pemakaman Tanah Kusir)

Intimidasi sudah lama dirasakan Wiji lantaran pemikiran kritisnya. Maka tak heran, kala itu, Wiji kerap berpindah-pindah tempat karena ancaman-ancaman yang menghantuinya.

"Namun, ia terus berkomunikasi dengan keluarga di saat ia berpindah-pindah. Barulah pada Februari 1998, kami benar-benar kehilangan komunikasi dengannya. Wiji hilang," kata Zaenal mengenang.

Salah satu hal yang berkesan dari seorang Wiji bagi Zaenal adalah kesederhanaannya dan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya. "Dia memang dari lingkungan komunitas miskin yang bekerja serabutan. Namun, ia menggerakkan kesenian anak muda dan aktif dalam perjuangan penaikan upah buruh," katanya.

Sudah 17 tahun berlalu semenjak tragedi tersebut. Zaenal dan para keluarga korban lainnya hanya berharap pemerintah mau mengakui adanya Tragedi Mei 1998 dan menyelesaikannya melalui proses persidangan yang adil. (Lihat Juga: JK: Pemerintah Sudah Upaya Maksimal usut Tragedi Mei 98) (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER