Mari Berkaca ke Semrawutnya Jalanan Ibu Kota

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Jumat, 28 Agu 2015 06:27 WIB
Kemacetan masih jadi persoalan besar meski Pemprov DKI Jakarta telah melakukan terobosan.
Pengendara bermotor terjebak kemacetan di wilayah Pancoran, Jakarta, Kamis, 5 Februari 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Gila! Masak dari rumah ke sini tiga jam,” ucap Yusuf kesal sambil mengusap keringat di dahinya akhir Juni lalu. Yusuf tinggal di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan. Sementara kantornya ada di daerah Warung Buncit. Setiap hari dia ke kantor naik mobil.

Yusuf pantas kesal. Dia lama tinggal di London, Inggris. Sekitar 15 tahun lebih. Dengan situasi lalu lintas dan kendaraan umum yang jauh lebih baik, kembali ke Jakarta mungkin sebuah mimpi buruk bagi lelaki yang dikenal sebagai kolumnis sepak bola ini. “Macetnya itu lho,” kata dia.

Putut Sambang, seorang pekerja di Jalan MH Thamrin baru pindah ke Jakarta pada 2013 lalu dari Surabaya. Lulusan Teknik Lingkungan ITS ini semula mendapat kos di Jalan Kayu Manis, Jakarta Timur. Dia memanfaatkan Bus TransJakarta untuk berangkat dan pulang kerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kantornya masuk jam 8 pagi. “Tapi keluar dari kos meski pagi, jam 6. Nunggu bus lama. Belum lagi saya harus pindah jalur untuk ke kantor,” katanya. Bukan itu saja, Putut mengaku tidak semua Bus TransJakarta dalam kondisi baik. Sudah banyak yang jelek.

Tak tahan dengan kondisi itu, Putut memutuskan mencari kos di daerah Kebon Kacang yang dekat dengan kantornya. Lebih mahal memang, katanya. Tapi untuk pergi ke kantornya tak perlu waktu lama, hanya sekitar 15-20 menit jalan kaki. ‘Ya lumayan. Sekarang tak buru-buru. Bisa bangun agak siang,” tuturnya lalu tertawa.

Lain cerita Suwarno, pekerja media di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Dia naik motor dari rumahnya di daerah Sudimara, Tangerang Selatan ke kantor. Perlu waktu satu sampai dua jam untuk sampai kantornya. “Biasalah macet,” katanya.

Dia kemudian memilih cara lain untuk pergi ke kantornya. Dia memutuskan untuk naik sepeda lipat ke Stasiun Sudimara. Dari sana, dia kemudian melipat sepedanya untuk dibawa serta naik KRL hingga ke Stasiun Tanah Abang.

Turun di Tanah Abang, dia rangkai kembali sepeda lipatnya lalu gowes menuju kantornya. Begitu juga untuk pulang, hanya urutannya dibalik saja. Cara ini disebutnya lebih efektif. Tidak capai dari pada naik motor, juga lebih ekonomis selain disebutnya lebih sehat. “Apalagi mesti bawa naik turun sepeda lipat di tangga Stasiun Tanah Abang yang lumayan tinggi,” katanya.

Kemacetan yang makin luar biasa di Jakarta dan bagaimana mengatasinya tampaknya ada di benak semua orang yang berlalu lintas di Jakarta. Kapan “setan kemacetan" ini bisa ditaklukkan. Bahkan sangat mungkin makin menjadi.

Pada Februari 2015 lalu Castrol’s Magnatec Stop-Start Indeks menempatkan Jakarta sebagai kota termacet di dunia dengan rata-rata 33.240 start-stop per tahun. Diikuti Istanbul, Turki dengan 32.520 start-stop pe rtahun dan and Mexico City dengan 30.840 start-stop per tahun.

Kondisi ini bukannya tidak terprediksikan. Sekira 15 tahun lalu, Japan International Cooperation Agency (JICA) menyebutkan bahwa lalu lintas Jakarta pada 2014 akan macet total.

Lebih dari itu, perkiraan dari Lembaga Kerja Sama Internasional Jepang tersebut pada kenyataannya jauh lebih “menyeramkan”. Kemacetan tak hanya terjadi di ruas-ruas jalan raya ibu kota tapi sudah menyebar merata ke jalanan-jalanan kawasan pemukiman di pinggiran Jakarta.

Disebutkan, rata-rata kecepatan kendaraan untuk bisa melaju di jalanan Jakarta hanya 20 kilometer per jam. Bahkan di jam-jam tertentu kecepatan cuma bisa ditempuh kurang dari 10 kilometer per jam. Bahkan kerap kali roda kendaraan tak bergerak sedikitpun selama bermenit-menit. Jarak yang hanya 3 kilometer saking macetnya harus ditempuh hingga satu jam.

Yang lebih menyeramkan, jumlah kendaraan di Jakarta terus bertambah. Setidaknya ada tujuh juta kendaraan yang lalu lalang di jalanan ibu kota. Diperkirakan, ada tambahan 500 ribu sampai 700 ribu tambahan kendaraan tiap hari yang masuk ke ibu kota yang makin lelah menopang bebannya ini.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukannya tidak sadar akan kondisi ini. Mereka mulai melakukan beberapa terobosan dan kebijakan untuk mengatasi ini. Pemerintah DKI Jakarta kini tengah membangun Mass Rapid Transit.

Megaproyek yang digagas beberapa puluh tahun ini akhirnya pada 2014 lalu baru bisa diwujudkan pengerjaannya. Proyek raksasa berbasis rel yang rencananya akan membentang kurang lebih 110,8 kilometer ini disebut akan jadi solusi mengurai kemacetan ibu kota.

Kemudian digagas pula pembangunan LRT (Light Rail Transit) untuk mengurai kemacetan juga. Hanya saja, proyek ini masih belum bisa dikerjakan karena Keppresnya belum juga turun. Siapa pelaksana proyek ini sudah ditunjuk.

Tidak itu saja. Pemprov DKI Jakarta juga membuat solusi lain untuk mengatasi kemacetan yang makin menyiksa. Mereka akan menambah Bus TransJakarta agar pemakainya tidak perlu menunggu lama.

Integrasi Kopaja dengan Bus TransJakarta juga diusahakan. Ada rencana Kopaja akan dibawah Pemprov DKI Jakarta di mana sopir akan dibayar per kilometer yang dia tempuh sehingga mereka tidak perlu ngetem untuk mencari penumpang. Kopaja yang ngetem ini disebut sebagai salah satu penyebab kemacetan di Jakarta.

Lalu ada rencana menjadikan mobil MPV sebagai taksi. Pilihan MPV untuk dijadikan taksi ini salah satunya karena bisa menampung lebih banyak orang dibanding sedan. Dengan cara ini, diharapkan pemakai kendaraan pribadi akan berkurang dan harga taksi bisa lebih ekonomis.

Bagi pemakai kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor, Pemprov DKI Jakarta juga sudah memikirkan dan menguji coba beberapa kebijakan. Uji coba penerapan Electronic Road Pricing sudah dilakukan bagi pemilik mobil yang lewat jalan protokol. Sementara pemilik motor tidak boleh masuk ke jalanan protokol di jam-jam tertentu.

Bagaimana dampak dari solusi dan kebijakan itu terhadap mengurai kemacetan di Jakarta masih belum begitu terasa. Apakah karena kemacetan Jakarta sudah begitu akut hingga tidak bisa disembuhkan atau dampak dari semua itu baru akan dirasakan pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana ramalan soal macetnya Jakarta yang baru terbukti 15 tahun kemudian.

Yang pasti sekarang, “setan kemacetan” itu ada benar di jalanan ibu kota dan selalu menghantui warganya.

(hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER