Jakarta, CNN Indonesia --
Persoalan transportasi umum di Jakarta bukan hal baru. Sudah sejak lama ibu kota RI ini dilanda kemacetan parah. Publik pun sulit mengakses transportasi umum. Jika tak begitu, alat angkutan massal yang ada tak memadai. Masalah seperti ini selalu terjadi meski Jakarta telah berkali-kali berganti gubernur.
Pembangunan transportasi yang kerap dikesampingkan selama puluhan tahun disinyalir menjadi penyebab dari segala masalah transportasi umum di Jakarta. Kepedulian pemerintah pusat dalam mendukung perkembangan transportasi umum di Jakarta dinilai masih sangat rendah.
Namun belakangan persoalan transportasi umum di Jakarta tampaknya sedikit membaik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini sedang serius melakukan upaya-upaya perbaikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mencoba fokus pada pembangunan transportasi massal berbasis rel.
Masa Rapid Transit (MRT) adalah salah satu transportasi berbasis rel yang sedang dibangun oleh Pemprov DKI. (Lihat:
Meneropong Proyek MRT di Bawah Tanah Jakarta)
Pembangunan MRT sepanjang 16 kilometer dari Lebak Bulus sampai Bundaran HI telah dimulai Oktober 2013 dan ditargetkan selesai pada 2018. Ada 13 stasiun yang akan dibangun, yaitu 7 stasiun layang di jalur sepanjang 10 kilometer dan 6 stasiun bawah tanah dengan jalur sepanjang 6 kilometer. Proyek ini diperkirakan bakal menghabiskan dana sedikitnya Rp 16 triliun.
Saat ini proyek pengerjaan MRT terus digeber oleh PT MRT Jakarta. Bulan depan PT MRT Jakarta akan melakukan pengeboran jalur bawah tanah yang akan dimulai dari Patung Pemuda, Senayan. Alat untuk mengebor saat ini sudah tiba di Jakarta dan sedang dirakit.
Jalur bawah tanah MRT memang menjadi prioritas pengerjaan. Rencananya tahun 2017 rute MRT sepanjang 6 kilometer ini sudah jadi sehingga pada 2018, sebelum Asian Games, sudah bisa dioperasikan. Kalau pun belum, setidaknya jalur MRT sudah rapi dan siap beroperasi. (Simak:
MRT Dijamin Bebas Banjir)
Pembangunan MRT bukan tanpa kendala. Pembebasan lahan yang ditargetkan selesai pada 2013, sampai saat ini bahkan belum rampung. Masih ada 227 bidang tanah yang harus dibebaskan Pemprov DKI untuk membangun depo dan stasiun MRT, di antaranya di Lebak Bulus, Haji Nawi, dan Cipete Raya.
Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi mengatakan saat ini pihaknya sedang mengupayakan pembebasan 227 lahan tersebut. "Kami sudah meneliti 30 bidang tanah yang akan kami bayar. Besok ada tiga bidang yang akan kami bayar senilai Rp 16 miliar. Di luar itu kami terus melakukan negosiasi," kata Tri saat ditemui CNN Indonesia di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (27/8).
Tri memprioritaskan lahan yang dianggap paling urgen dibutuhkan untuk membangun MRT, misalnya Lebak Bulus yang akan dijadikan depo dan Cipete Raya yang akan dijadikan stasiun. Pembongkaran Stadion Lebak Bulus kini sedang dilakukan.
Kendati ada masalah pembebasan lahan, PT MRT Jakarta mengaku tak terganggu. Presiden PT MRT Jakarta Dono Boestami mengatakan pihaknya akan bertanggung jawab dan terus berupaya agar proyek MRT selesai sesuai target.
"Pekerjaan kami masih banyak. Kami akan fokus mengerjakan proyek ini," ujar Dono.
LRT Tersandung Aturan
Sementara proyek pembangunan MRT terus berjalan meski terkendala pembebasan lahan, pengerjaan
Light Rail Transit (LRT) hasil kolaborasi pemerintah pusat dan Pemprov DKI justru tak kunjung dimulai. Padahal
groundbreaking ditargetkan dilakukan pada 17 Agustus. (Baca:
Jokowi Minta Ahok Kebut Proyek LRT untuk Asian Games)
Berbeda dengan rute MRT yang hanya berada di kota Jakarta, rute LRT akan menjangkau daerah penyangga ibu kota seperti Bekasi dan Cibubur. Total jumlah rutenya berjumlah tujuh.
Ketujuh rute tersebut ialah Tanah Abang-Pulo Mas sepanjang 17,6 kilometer, Kebayoran Lama-Kelapa Gading sepanjang 21,6 kilometer, Joglo-Tanah Abang 11 kilometer, Puri Kembangan-Tanah Abang 9,3 kilometer, Pesing-Kelapa Gading 20,7 kilometer, Pesing-Bandara Soekarno Hatta 18,5 kilometer, dan Cempaka Putih-Ancol 10 kilometer.
Saat ini pembangunan LRT masih menunggu Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden yang menjadi landasan hukum PT Adhi Karya dan PT Jakarta Propertindo sebagai pengembang untuk memulai pengerjaannya. Perpres diperkirakan akan siap dalam waktu dua minggu ke depan. Sementara Keppres diprediksi lebih cepat diterbitkan. (Baca:
Perpres LRT Jakarta Keluar September)
Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Satu lagi transportasi berbasis rel yang akan menghubungkan Jakarta dengan kota sekitar adalah kereta cepat Jakarta-Bandung. Proyek ini sebenarnya merupakan garapan pemerintah pusat. Pemprov DKI hanya memberikan usulan dan dukungan di wilayahnya saja.
Pembangunan kereta cepat ini belum diputuskan akan dimulai kapan. Pengembangnya pun belum ditentukan. Saat ini pemerintah pusat masih menimbang proposal dari China dan Jepang untuk menentukan pemenangnya. (Baca:
Menyelisik Ambisi China Incar Proyek Kereta Cepat RI;
Jepang Ajukan Tawaran Tambahan untuk Proyek Kereta Cepat)
Demi menunjang pembangunan kereta cepat, Ahok menawarkan dua stasiun utama untuk operasional kereta cepat Jakarta-Bandung. Stasiun itu adalah Stasiun Gambir dan Stasiun Manggarai. Pemilihan dua stasiun tersebut bukan tanpa alasan. Gambir dan Manggarai merupakan stasiun besar yang terintegrasi dengan Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line yang beroperasi di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, hingga Tangerang.
"Waktu itu kami usul kepada pusat, kalau bisa ya pakai Manggarai dan Gambir. Kami juga mau kasihkan lahan yang di kawasan Monas," ujar Ahok.
Lahan yang akan diberikan Pemprov DKI itu nantinya digunakan agar KRL bisa mengangkut penumpang dari Stasiun Gambir, sebab saat ini KRL Commuter Line hanya lewat di Stasiun Gambir namun tak bisa mengangkut penumpang karena stasiun tersebut difungsikan untuk perjalanan kereta jarak jauh.
Dengan penambahan jalur di lahan yang diberikan Pemprov DKI, kereta cepat dapat terintegrasi dengan KRL Commuter Line. Dengan demikian penumpang yang turun dari kereta cepat bisa langsung melanjutkan perjalanan pulang dengan menggunakan Commuter Line.
(pit/agk)