Jakarta, CNN Indonesia -- Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta pemerintah untuk tidak mengintervensi perkara penggeledahan kantor PT Pelabuhan Indonesia (PT Pelindo) II. Alasannya, penggeledahan disebut murni berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan korupsi.
“Kami sangat mendukung penggeledahan yang dilakukan Bareskrim Polri. Kami meminta Presiden Jokowi maupun menteri-menterinya tidak perlu melakukan intervensi kasus ini,” kata Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN, Arief Poyuono, kepada CNN Indonesia, Minggu ( 30/8).
(Lihat Juga: Kata Mereka Soal RJ Lino)Penggeledahan kantor PT Pelindo II di Pelabuhan Tanjung Priok dilakukan oleh Bareskrim Polri, pada Jumat (28/8) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Victor Edison Simanjuntak mengatakan penggeledahan tersebut didasarkan atas dugaan adanya pengadaan mobile crane yang tidak sesuai aturan.
(Lihat Juga: Bareskrim Geledah Kantor Pelindo II Terkait Korupsi Crane)Arief mengatakan penggeledahan tersebut sebenarnya merupakan tindak lanjut laporan pengaduan tim investigasi pihaknya atas beberapa dugaan korupsi yang terjadi di tubuh Pelindo II atas pengadaan barang pada 2011.
(Lihat Juga: Polisi Dalami Perusahaan Lain dalam Kasus Dwelling Time)
“Saya sudah melaporkan dugaan ini ke KPK dan Kejaksaan Agung pada 2013. Namun, tidak ada respon,” kata Arief.
Karena tidak adanya respon dari dua lembaga penegak hukum tersebut, pihaknya pun melaporkan temuan-temuan tersebut ke pihak Bareskrim Polri. Laporan tersebut, katanya, langsung diproses dengan penggeledahan kantor PT Pelindo II.
Arief juga mengatakan selain laporan dugaan korupsi mobile crane sekitar US$4,5 juta atau sekitar Rp 63,5 miliar pihaknya juga melaporkan dugaan korupsi beberapa kasus.
Kasus-kasus tersebut diantaranya pembelian lahan PT Dok Koja Bahari pada 2010 yang semula nilai kesepakatannya Rp 150 Miliar tetapi diduga digelembungkan menjadi Rp 350 Miliar.
Selain persoalan pembelian lahan antara Pelindo II dan PT DKB, pihaknya juga mencurigai dugaan korupsi pengadaan sistem Informasi Teknologi dengan nilai mencapai Rp 100 Miliar.
Sementara itu, usai penggeledahan berlangsung, Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino, sempat mendapatkan telepon dari Kepala Bappenas Sofyan Djalil.
Kepada Sofyan, Lino menjelaskan polisi menggeledah kantornya untuk mencari file dokumen terkait 10 crane yang tak berfungsi sehingga memengaruhi proses dwell time atau bongkar muat di pelabuhan.
Saat itu, Lino mengaku menghormati tindakan polisi yang melakukan penggeledahan. Namun, penggeledahan ini tidak bisa dilakukan karena dia merasa belum pernah dimintai keterangan polisi.
"Pak Sofyan kalau Presiden enggak bisa menyelesaikan. Saya berhenti. Susah ini kalau benar ini negeri begini. Kami kayak dihukum sama media," kata Lino kepada si penelepon.
Pelindo II memang menjadi sorotan akhir-akhir ini karena persoalan lamanya waktu untuk bongkar muat kapal di pelabuhan yang mencapai 25 hari. Presiden Joko Widodo bahkan sempat marah-marah ketika melakukan sidak ke Pelabuhan Tanjung Priuk pada pertengahan Juni lalu.
Pada Agustus lalu, Jokowi menjadikan persoalan bongkar muat ke dalam tujuh hal yang termasuk dalam hambatan investasi dan pembangunan negeri ini.
Jokowi saat itu meminta kepada para menteri di Kabinet Kerjanya untuk mengatur agar waktu bongkar muat kapal di pelabuhan harus segera dibereskan menjadi paling lama 3 hingga 4 hari. Persoalan tersebut diharapkan sudah selesai pada bulan Oktober ini.
PT Pelindo II juga dituding Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, mendapatkan keuntungan atas lamanya waktu bongkar muat dan menumpuknya kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Keuntungan disinyalir hingga ratusan triliunan rupiah atas lamanya waktu bongkar muat.
(utd)