YLKI: Dokter Suka Beri Antibiotik Mahal yang Beratkan Pasien

Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Sabtu, 05 Sep 2015 03:17 WIB
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan pasien atau konsumen seringkali tidak mengetahui manfaat dari pemberian antibiotik atas proses penyembuhan penyakit.
Warga memeriksakan kesehatannya di Puskesmas Bukit Duri, Jakarta, Kamis 30 Oktober 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai penggunaan dan pemberian antibiotik di Indonesia saat ini saat mengkhawatirkan. Penyalahgunaan antibiotik selain berdampak pada tingginya biaya kesehatan, juga dianggap dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius.

"Fenomenanya saat ini yang terjadi dokter di Indonesia sangat mudah memberikan antibiotik. Pada dasarnya itu adalah bentuk penyalahgunaan," ujar Tulus kepada CNN Indonesia, Selasa (1/9). (Lihat Juga: Resistensi Antibiotik Bisa Tewaskan 130 Ribu Warga Indonesia)

Tulus mengatakan, tindakan pemberian antibiotik terhadap konsumen yang mengidap penyakit secara tidak tepat merupakan bentuk pelanggaran kode etik profesi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut, Tulus menuturkan, salah satu kasus yang pernah dilaporkan ke lembaganya, terjadi pada pengidap Demam Berdarah di salah satu rumah sakit di DKI Jakarta. (Lihat Juga: Nafsiah Mboi: Banyak Dokter Beri Resep Antibiotik Suka-suka)

Ia menjelaskan, berdasarkan ketentuan, pasien tersebut tidak diperbolehkan mengkonsumsi antibiotik sebagai obat penyembuhnya. Alhasil, selain berdampak pada lamanya penyembuhan, biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien menjadi lebih besar.

Tulus menyatakan, ada tiga hal yang sebenarnya terjadi dalam kasus penyalahgunaan obat, khususnya antibiotik dalam dunia kedokteran.

Menurut Tulus, Dokter terlalu mudah memberikan antibiotik dan tidak menjelaskan secara detail dan langsung kepada pasien soal manfaat dari antibiotik tersebut terhadap proses penyembuhan penyakit.

"Kami juga menemukan bahwa konsumen dalm hal ini pasien terkadang tidak melaksanakan anjuran dari dokter untuk menghabiskan antibiotik, padahal itu harus dihabiskan," ujarnya.

Contoh lain yang terjadi di Indonesia adalah terjadinya penjualan secara bebas antibiotik di beberapa apotik-apotik maupun rumah sakit. Hal tersebut membuat pengawasan terhadap peredaran dan dampak dari penggunaan tersebut menjadi lebih sulit.

Berdasarkan informasi yang diterima dari Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI), pada tahun 2050 diperkirakan 10 juta orang per tahun meninggal karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik di seluruh dunia. Seperempat diantaranya terjadi di negara-negara berkembang.

Prevalensi kematian tertinggi akibat infeksi bakteri multi-resisten terjadi di Asia sebanyak 4,7 juta, diikuti Afrika dengan 4,1 juta, sekitar 390 ribu di Eropa dan 317 ribu di Amerika.

Penyumbang masalah resisistensi antibiotika adalah peresepan antibiotik tidak rasional, penjualan antibiotik tanpa resep dokter, pasien yang tidak menaati regimen penggunaan antibiotik, dan penggunaan obat pada ternak ayam dan ikan yang nantinya dikonsumsi oleh manusia.

Hingga kini, Tulus mengatakan belum ada penelitian yang menemukan antibiotik baru untuk proses penembuhan penyakit. Sehinga, ia mengkhawatirkan dalam beberapa tahun ke depan beberapa bakteri akan menjadi kebal karena telah beradaptasi dengan antibiotik saat ini. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER