Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung pembentukan dua sistem BPJS Kesehatan, yaitu sistem konvensional dan syariah. Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menilai adalah otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa perihal BPJS Kesehatan.
Menurut Tulus yang dihubungi CNN Indonesia, Rabu (29/7), fatwa itu adalah aspirasi soal pelaksanaan BPJS Kesehatan. Pemerintah, menurutnya, sudah sewajarnya memberikan respons atas apirasi tersebut. “Otoritas MUI untuk mengeluarkan fatwa, tetapi saya kira, dua sistem BPJS Kesehatan yang konvesional dan syariah perlu dipertimbangkan untuk dibentuk,” tuturnya.
Pembentukan dua sistem BPJS Kesehatan ini dinilai Tulus tidak jauh berbeda dengan sistem perbankan yang ada di Indonesia, yakni sistem konvensional dan syariah. Menurut dia, pembentukan dua sistem BPJS Kesehatan ini penting karena kondisi Indonesia yang majemuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kan peserta BPJS Kesehatan tidak semuanya muslim, ada juga yang non-muslim. Ini juga memberikan pilihan kepada para peserta, sistem mana yang ingin mereka pakai, sistem mana yang paling nyaman buat mereka,” katanya. (Baca juga:
Usul JKSN Islami, Dewan Syariah Incar 7 Juta Nasabah BPJS)
Untuk pembuatan BPJS Kesehatan Syariah, lanjut Tulus, harus ada dasar hukumnya. Sejauh ini, BPJS Kesehatan diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Tulus menyebut, dalam UU itu tidak diatur soal sistem syariah.
Sebelum sistem BPJS Kesehatan syariah dibuat, maka pemerintah bersama DPR, ungkap Tulus, harus merevisi kedua UU itu agar sistem syariah bisa diterapkan dalam BPJS Kesehatan. Tanpa ada perubahan atau revisi dari UU tersebut, maka sistem BPJS Kesehatan syariah tidak bisa dibuat atau diterapkan. “Pemerintah dan DPR harus bahas soal ini bersama,” tuturnya. (Baca juga:
BPJS Kesehatan: Secara Prinsip Kami Sudah Syariah)
Sebagaimana diketahui, fatwa bahwa BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah adalah hasil dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia berlangsung pada 7-10 Juni 2015 di Pondok Pesantren Attaudiyah Cikura, Tegal, Jawa Tengah. Acara ini dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Acara ini juga dihadiri oleh Menteri Agaman Lukman Hakim, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, serta Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko.
Adapun hal yang dibahas dalan acara ini terbagi menjadi tiga komponen utama. Pertama, masalah-masalah strategis kebangsaan, masalah fiqih dan hukum Islam tematik kontemporer, dan masalah hukum dan perundang-undangan.
Pembahasan terkait masalah strategis kebangsaan di antaranya yaitu soal takfiri, akar terorisme di Indonesia, dan hukum pemimpin yang ingkar janji.
Sedangkan terkait masalah fiqih dan hukum Islam kontemporer antara lain meliputi istihalah dan haji berulangkali. Adapun mengenai masalah hukum dan perundang-undangan dibahas soal penguasaan tanah dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam dan soal BPJS Kesehatan Syariah. (Baca juga:
MUI Enggan Disebut Menghancurkan BPJS Lewat Fatwanya)
Wakil Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menyebutkan, BPJS Kesehatan yang kini tengah berjalan ini tidak sesuai syariah karena mengandung unsur gambling (judi), juga bunga. Menurut Ma’ruf, ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi yang diyakini Islam yakni saling membantu.
“Ini BPJS Kesehatan sekarang konvensional, makanya darurat. Untuk itu, pemerintah harus membuat sistem BPJS Kesehatan yang sistemnya sesuai dengan syariah,” ujarnya.
BACA FOKUS:
Tafsir MUI Ihwal BPJS Kesehatan (hel)