Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek berharap agar para peneliti dapat meningkatkan perhatian dan peka terhadap berbagai permasalahan di masyarakat. Menurutnya, kebijakan kesehatan yang dilaksanakan harus berbasis bukti dan berbasis hasil penelitian.
"Penelitian ini tidak boleh stop begitu saja, dan kita memiliki bahan sumber daya alam yang begitu banyak, tetapi harus ada produk," ujar Nila usai membuka acara Simposium Internasional ke 2 Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (15/9).
Nila menyampaikan, untuk mendapatkan produk informasi dan inovasi yang terpercaya, perlu penelitian dan pengembangan kesehatan yang terjaga mutunya, baik secara ilmiah maupun secara etik. Produk informasi dan inovasi tersebut juga berguna bagi pengambilan keputusan berbasis bukti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Millenium Development Goal Post 2015, sejumlah penyakit telah diamanatkan secara global untuk dikendalikan. Beberapa di antaranya seperti TB, Malaria, HIV. Di Indonesia pada 2013 telah terindikasi 23 penyakit yang berpotensi menjadi wabah dalam daftar MDGS Post 2015.
"Sehubungan dengan itu, diperlukan penelitian untuk meneliti dan mengembangkan produk untuk deteksi (diagnostik), pencegahan (vaksin), penyembuhan (obat), dan alat kesehatan untuk mengatasi penyakit tersebut," kata Menkes.
Kolaborasi antara peneliti sebagai penghasil, dan pengguna, dalam hal ini industri, pemegang program, pelaku pelayanan kesehatan, menjadi krusial agar hasil penelitian berdaya guna. "Dengan kolaborasi antara penghasil dan pengguna, kami berharap hasil-hasil penelitian akan lebih banyak dimanfaatkan," ujarnya.
Nila mengatakan, sejak 2012 Indonesia telah memulai pendekatan penelitian dan pengembangan produk. Hal itu dilakukan dalam bentuk konsorsium riset yang melibatkan akademisi, institusi penelitian milik pemerintah, dan industri untuk mendapatkan hasil yang efisien.
Dia menjelaskan, salah satu contohnya mengenai pengembangan bahan baku obat malaria artemisinin dari tanaman artemisia annua. Pengembangan ini didahului dengan penelitian riset tanaman obat dan jamu. "Itu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Itu satu bukti nyata," imbuhnya.
Untuk sekitar dua juta kasus malaria di Indonesia, diperlukan obat artemisinin sebanyak 900 kilogram. Jumlah itu dihasilkan dari 450 ton simplisia kering dan diperoleh dari 100 hektare tanaman artemisia annua.
Dalam simposium yang digelar selama dua hari, para produsen dan konsumen riset saling bertukar informasi seputar penelitian dan pembangunan kesehatan yang terkait dengan deteksi, pencegahan, dan pengobatan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama mengklaim pertemuan ini yang pertama kali berbicara mengenai bagaimana mengubah riset di laboratorium menjadi sebuah produk. "Jadi tidak semata-mata riset untuk riset," katanya.
(hel)