Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam ketiadaan rencana pemerintah untuk meminta maaf kepada korban tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965.
Menurut KontraS, seharusnya pemerintah menyampaikan permintaan maaf sebagai tanda bahwa negara mengakui orang-orang tersebut sebagai korban peristiwa nahas tersebut.
"Itu kan amanat dari konstitusi, tapi pemerintah sampai sekarang belum pernah meminta maaf. Negara-negara lain saja ada yang meminta maaf," kata Anggota KontraS Feri Kusuma kepada CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permintaan maaf pemerintah, ujar Feri, sesungguhnya sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan para keluarga korban G30S, sebab hingga kini para keluarga korban masih saja menerima respons negatif dari sejumlah orang. Mereka misalnya dipersulit dalam mendapatkan pekerjaan dan selalu diintimidasi masyarakat luas.
Selain dapat memulihkan nama baik para korban, permintaan maaf dari pemerintah juga akan menjadi pintu awal penyelesaian dan rekonsiliasi kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang pernah terjadi di Indonesia. Apaagi beberapa waktu lalu TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung pernah berkumpul untuk merapatkan penyelesaian kasus HAM tersebut.
"Jadi setelah ada permintaan maaf, aspek hukumnya harus dilanjutkan, bukan malah hilang begitu saja. Permintaan maaf itu justru jadi awal penyelesaian kasus," ujarnya.
Soal sikap pemerintah yang tak mau meminta maaf pada korban G30S disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haiedar Nashir usai menemui Presiden Jokowi di Istana Negara, kemarin.
"Sama sekali tak ada agenda, bahkan terpikir pun tidak (untuk minta maaf kepada korban G30S), sehingga isu yang berkembang bahwa pemerintah akan meminta maaf, sudah terklarifikasi. Presiden tak akan melakukan itu, apalagi sampai membuat permintaan maaf," ujar Haedar.
Meski demikian, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah akan mengupayakan rekonsiliasi terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tragedi berdarah tersebut.
G30S ialah tragedi berdarah yang terjadi pada 30 September malam, di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
Tutup bukuUcapan Presiden Jokowi yang tak berniat melayangkan permintaan maaf terhadap korban G30S, selain diutarakan kepada Ketua PP Muhammadiyah, juga pernah ia ucapkan di hadapan Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Beberapa waktu lalu Fadli bercerita bertemu langsung dengan Jokowi untuk membahas soal tersebut. “Saya minta waktu empat mata untuk membahas rumor rencana permintaan maaf itu. Pak Jokowi jawab tidak ada (niat minta maaf), terpikir pun tidak," kata politikus Gerindra itu.
Fadli pun mendukung langkah Jokowi. Ia menilai tak perlu meminta maaf terhadap korban G30S karena menurutnya bisa menimbulkan kontroversi baru.
Menurut Fadli, sejarah Indonesia tahun 1960-an merupakan situasi yang revolusioner sehingga berbagai kepentingan dan ideologi saling bertubrukan guna mencari jalan keluar kebangsaan.
Maka apabila pemerintah melayangkan permintaan maaf, kata Fadli, bukan tidak mungkin respons itu mendapat reaksi lanjutan dari elemen golongan dan angkatan yang turut menjadi dalam peristiwa tersebut.
"Saya yakin nantinya bakal ada
clash action. Jadi sudahlah, masa lalu tutup buku saja," kata dia.
Sementara menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerindra Desmond Mahesa, permintaan maaf tidak menyelesaikan luka lama yang dialami para korban '65 itu. Lebih penting adalah bagaimana ketidakadilan yang dialami korban dapat diselesaikan.
Wakil Ketua Komisi III DPR itu meminta pemerintah fokus pada proses rekonsiliasi, kompensasi, rehabilitasi dan pengakuan proses peradilan korban agar tidak ada lagi dendam di masa lalu yang terbawa hingga saat ini.
(hel)