Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi non profit yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), SETARA Institute, meminta Presiden Joko Widodo membentuk Komisi Ad Hoc Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban yang independen dan imparsial, untuk mengungkapkan kebenaran pelanggaran HAM berat masa lalu.
Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Banar Tigor Naipospos mengatakan komisi tersebut harus berdasar atas inisiatif Presiden Joko Widodo. Menurutnya, komisi ini tidak perlu menunggu selesai dibahasnya Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).
RUU KKR kembali diusulkan pemerintah masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2015, setelah sebelumnya dipangkas Mahkamah Konstitusi.
Bahkan Bonar memperkirakan pembahasan UU KKR tersebut tidak akan benar-benar selesai dan rampung dalam waktu tiga tahun ke depan. Ia menilai, pembentukan dan pemilihan anggota KKR juga akan diwarnai politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keterlibatan parlemen dalam menentukan anggota komisi tentu akan diwarnai politik. Biar semua jadi wewenang presiden," ucap Bonar di kantor SETARA Institute, Jakarta, Senin (28/9).
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi mengatakan komisi ini nantinya diisi masyarakat yang memiliki komitmen tinggi pada kemanusiaan dan HAM. Hendardi menuturkan, komisi ini sebaiknya tidak diisi oleh pejabat negara seperti dari TNI, Kepolisian atau BIN.
Ia menyebutkan komisi independen ini akan mengambil langkah yang berbeda dengan yang dilakukan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan dan Jaksa Agung Prasetyo.
Saat ini, pemerintah hanya mendesain rencana permintaan maaf dan pemulihan korban sebagai solusi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
"Bagaimana rekonsiliasi padahal negara adalah subjek pelanggar. TNI, BIN dan Kepolisian adalah pihak yang juga dituntut permintaan maafnya," ujar Hendardi.
Ia mengatakan tugas dari Komisi Ad Hoc Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban adalah menyelidiki dan mengumpulkan fakta-fakta terkait pelanggaran HAM, yang kemudian arsipnya dibuka ke masyarakat agar menjadi pengetahuan publik.
Selain itu, tugas lainnya adalah mengidentifikasi pelaku dan korban. Bonar mengatakan rekonsiliasi tidak akan tercapai apabila tidak mengetahui secara jelas siapa pelaku dan korban pelanggaran HAM.
Hal yang ketiga adalah memutuskan perkara mana yang akan ditindaklanjuti melalui mekanisme yudisial atau non-yudisial. "Seperti perkara 1965 yang kendala waktu, sehingga fakta sulit ditemukan. Komisi ini yang mempertimbangkan dan menentukannya," ucap Bonar.
Keempat adalah menyusun laporan atau semacam buku putih untuk setiap kasus pelanggaran masa lalu sehingga bisa diakses bahkan dijadikan bagian pelajaran sejarah di tingkat pendidikan sekolah.
Selain pembentukan komisi, SETARA juga menginginkan peristiwa pelanggaran masal lalu menjadi diorama di Monumen Nasional. Bonar turut mengatakan perlunya dibentuk museum monumen HAM oleh pemerintah sebagai memori kolektif bagi masyarakat.
(utd)