Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menilai pemerintah tidak mau menyentuh pengungkapan kebenaran dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Hal ini disampaikannya jelang 50 tahunnya tragedi G30S.
Padahal, ucap Bonar, awalnya Presiden Joko Widodo memberikan harapan akan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk G30S pada saat kampanye pemilihan presiden 2014 lalu.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019 Jokowi menyampaikan rencana pengungkapan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu, yakni, peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari-Lampung 1989; penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999 dan Waisor Wamena 2001/2003.
Tak hanya itu, Bonar turut menilai pendekatan yang dilakukan pemerintah saat ini untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu tidak tepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagi mereka penyelesaiannya hanya melalui non yudisial. Sekedar meminta maaf, rangkulan antara pelaku-korban dan selesai. Esensi pengungkapan kebenarannya tidak mau disentuh," kata Bonar di Kantor SETARA Institute, Jakarta, Senin (28/9).
Senada, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi mengatakan rekonsiliasi adalah hasil dari proses pengungkapan kebenaran baik melalui mekanisme yudisial atau non yudisial.
Hendardi menyayangkan pilihan pemerintah akan jalur rekonsiliasi daripada menempuh jalur yudisial. Menurutnya, dalih sulitnya pencarian saksi dan bukti untuk pelanggaran masa lalu juga perlu untuk dibuktikan terlebih dahulu.
Oleh sebab itu, ia menilai jaksa agung dan presiden keliru apabila penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu cukup melalui pernyataan maaf terbuka dari pemerintah dan rekonsiliasi sepihak.
"Belum apa-apa sudah memilih rekonsiliasi. Saya kira ini tidak akan menolong permasalah pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Hendardi.
Sebelumnya, Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan bahwa rekonsiliasi memang menjadi salah satu jalan terbaik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu.
Prasetyo mengatakan bahwa kejadian G30S yang sudah lama terjadi, hampir 50 tahun, membuat pemerintah menghadapi beberapa kendala dan kesulitan. Mulai dari bukti, saksi, hingga siapa yang menjadi tersangka akan sulit dicari saat ini.
Selain itu, pernyataan Presiden Indonesia Joko Widodo perihal adanya beberapa pendekatan yang dilakukan, termasuk rekonsiliasi, sudah dipikirkan matang-matang Kejaksaan Agung.
(utd)