Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM Bukan Ajang Cuci Tangan

Abraham Utama | CNN Indonesia
Senin, 06 Jul 2015 12:08 WIB
ELSAM mendorong pemerintah tak mengesampingkan proses hukum pelanggaran HAM, dan Komite ini tak jadi ajang cuci tangan pemerintah.
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (30/4). Pada aksinya ke-395 itu mereka mendesak Presiden Jokowi untuk menunjukan komitmennya dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang banyak diantaranya terjadi di bulan Mei. (Antara Foto/Fanny Octavianus)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendorong pemerintah untuk tidak mengesampingkan proses hukum kasus-kasus dugaan pelanggaraan hak asasi manusia yang telah dimulai Komnas HAM.

Mereka menyebut, pembentukan komite penyelesaian pelanggaran HAM tidak boleh menjadi alasan pemerintah mengesampingkan perkara yang sudah dilimpahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung.

"Jangan sampai komite itu justru menjadi ajang cuci tangan bagi Kejaksaan Agung untuk mengambangkan proses hukum yang sudah berjalan. Proses hukum itu merupakan mandat undang-undang yang tidak dapat didiamkan tanpa penuntasan," ujar peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar, melalui pernyataan tertulis yang diterima CNN Indonesia, Senin (6/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wahyudi menuturkan, Kejaksaan Agung harus meneruskan proses hukum terhadap kasus-kasus yang secara teknis hukum dan pembuktian memungkinkan untuk dibawa ke pengadilan.

Menurutnya, langkah awal yang dapat diambil lembaga pengacara negara itu adalah merealisasikan rekomendasi DPR untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998.

Anggota Perkumpulan ELSAM yang juga pernah menjadi Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mengatakan kebijakan pemerintah terkait berbagai penyelesaian dugaan pelanggaran HAM juga harus dilakukan dengan suatu pernyataan resmi (official remorse).

Ifdhal berkata, pernyataan resmi seharusnya dijadikan penanda atas pembentukan komite penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.

Selanjutnya, Ifdhal meminta pemerintah memberikan tanggung jawab kepada komite tersebut untuk membuat narasi resmi atas pengakuan adanya pelanggaran HAM dan merekomendasikan langkah-langkah untuk pemenuhan kewajiban kepada korban.

Elsam menulis, Presiden Joko Widodo harus menegaskan bahwa setiap kerja yang dilakukan komite penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat berada langsung di bawah kendalinya.

"Ini untuk menunjukan adanya konsistensi serta kejelasan arah dan sikap dari pemerintah," kata Wahyudi.

Selain itu, Wahyudi menuturkan munculnya sosok presiden dalam hiruk-pikuk ini dapat meminimalisir kemungkinan memanasnya gesekan di tingkat akar rumput, yang biasanya memicu konflik horisontal.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah merumuskan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu secara berkeadilan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy kemudian mengumpulkan kementerian dan lembaga negara terkait untuk membahas tindak lanjut dari RPJMN tersebut.

Komite yang digagas pemerintah itu beranggotakan Panglima TNI, Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Kepala Polri dan beberapa pimpinan lembaga lainnya.

Pekan lalu, Jaksa Agung Prasetyo menegaskan penyelesaian pelanggaran HAM pada masa lalu akan ditempuh dengan cara rekonsiliasi. Menurutnya, upaya itu adalah solusi memulihkan hubungan di antara pihak-pihak yang bersinggungan dengan masalah pelanggaran berat HAM.

Prasetyo mengatakan, akhir dari rekonsiliasi adalah pernyataan maaf dari negara yang diwakili oleh presiden selaku kepala negara. Pernyataan terbuka itu dilakukan jika pengusutan telag dilakukan hingga tuntas dan melalui sejumlah tahapan.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko berharap masyarakat dapat memaafkan para pelanggar HAM pada masa lalu. Hal ini menurutnya diperlukan agar kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa diusut tuntas.

"Demi kepentingan bangsa, kita tidak boleh melupakan sejarah. Memaafkan itu perlu supaya bangsa ini semakin baik. Not forget but forgive," ujarnya di Kejaksaan Agung, Kamis (7/2). (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER