Jakarta, CNN Indonesia -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur meminta pemerintah pusat untuk mencabut izin-izin pertambangan di wilayah yang mengganggu ruang hidup masyarakat.
Selain mengakibatkan konflik sosial, izin pertambangan di pulau Jawa juga mendorong terjadinya bencana ekologis berkepanjangan bagi warga sekitar.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Ony Mahardika mengatakan heran atas pemberian izin oleh pemerintah atas pembukaan industri pertambangan di kawasan pesisir dan selatan pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tambang di wilayah pesisir selatan banyak merusak. Itu yang bikin kami heran. Kawasan selatan (Jawa) sudah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) malah mengeluarkan izin," kata Ony kepada CNN Indonesia, Jumat (2/10).
Berdasarkan data WALHI Jawa Timur, dari tahun 2009 hingga 2012, di Kabupaten Lumajang, telah ada 62 izin pertambangan dikeluarkan oleh pejabat kabupaten/kota setempat.
Dari 62 izin tersebut, 18 diantaranya perizinan pasir besi dan 44 lainnya merupakan perizinan pasir dan batu.
Ony mengatakan sejauh pengamatan WALHI izin pertambangan yang ada di Jawa Timur seringkali bermasalah.
Pemberian izin pertambangan yang biasanya diikuti dengan protes warga terkadang diikuti dengan intimidasi, teror, serta pembunuhan terhadap mereka yang tidak setuju atas pendirian aktivitas pertambangan di wilayah tersebut.
"Banyak sebenarnya, namun meletusnya baru di Lumajang. Kejadian ini merupakan dampak konflik sosial dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pertambangan," kata Ony.
Lebih jauh, Ony mengatakan secara geografis di pulau Jawa tidak memungkinkan untuk aktivitas pertambangan. Selain berpenduduk banyak, ekosistem berupa daya tampung dan daya dukung lingkungan di pulau Jawa juga tidak memungkinkan untuk kegiatan pertambangan.
"Makanya banyak bencana ekologis, mulai longsor, banjir dan gempa bumi di wilayah Jawa," ujar Ony.
Tak hanya itu, khusus di Jawa Timur, adanya pertambangan juga menyebabkan tergusurnya aktivitas pertanian yang menjadi andalan mata pencaharian warga sekitar.
Ony memperkirakan di Jawa Timur, setiap tahun sebanyak 2.000 hektar lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi pertambangan.
"Padahal, Jawa Timur itu lumbung pangan nasional. Kalau lahan pertaniannya digusur jadi pertambangan, bagaimana ketahanan pangan ke depannya," kata Ony.
Sementara itu, aksi penolakan terhadap eksploitasi tambang menyusul tewasnya aktivis anti tambang di Lumajang, Jawa Timur, terus berlangsung di sejumlah daerah.
Di Jember, Jatim, Jumat (2/9) puluhan aktivis lingkungan berunjuk rasa menuntut pemerintah membatalkan Keputusan Menteri ESDM tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Jawa dan Bali.
Para aktivis juga sempat menjemput Rektor Universitas Jember Mohammad Hasan untuk ikut bersama-sama berunjuk rasa. Dalam aksi tolak tambang yang digelar di kawasan Kampus Universitas Jember itu, sang rektor menyatakan dukungannya terhadap aksi tersebut.
Sebagai bentuk dukungan nyata, Hasan menyatakan bahwa universitasnya sudah menyiapkan bantuan advokasi terhadap warga anti tambang. Pihaknya sangat menyesalkan peristiwa pembunuhan terhadap petani Lumajang penolak tambang.
“Apa yang terjadi seharusnya tidak sampai terjadi seperti itu, oleh karena itu kami akan dukung pihak terkait agar proses hukum berjalan dengan baik dan terselesaikan. kami dengan teman teman di sini akan membantu advokasi terkait kasus di Lumajang,” tutur Hasan.
Sejauh ini, pihak Kepolisian Resor Lumajang sudah menangkap 20 tersangka kasus dugaan penganiayaan dan pembunuhan petani Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Timur Kombes Argo Yuwono mengatakan sebenarnya sudah ada 22 tersangka yang ditetapkan. Namun, dua orang diantaranya tidak ditahan karena masih berusia 16 tahun.
(utd)