KPK Minta Menkumham Patuhi Presiden Tolak RUU KPK

Aghnia Adzkia, Resty Armenia | CNN Indonesia
Rabu, 07 Okt 2015 12:29 WIB
Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan revisi UU sama sekali tak diperlukan lembaganya. Ia mengingatkan komitmen Presiden untuk menolak revisi UU KPK.
Para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi di Istana Negara. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Indriyanto Seno Adji, meminta pemerintah, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, mengikuti arahan Presiden Jokowi.

Indriyanto menegaskan revisi UU KPK yang kini diusulkan DPR tak diperlukan dan malah cenderung memangkas wewenang lembaga pemberantasan korupsi itu.

"Komitmen Presiden adalah tetap menolak pembahasan revisi UU KPK. Karenanya Menkumham diharapkan mematuhi perintah Presiden," kata Indriyanto kepada CNN Indonesia, di Jakarta, Rabu (7/10).
Alasan mendasar penolakan itu, ujar Indriyanto, adalah iklim politik yang belum kondusif. Awal tahun ini misalnya diwarnai perseteruan antara dua lembaga penegak hukum, yakni Kepolisian dan KPK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konflik memanas ketika komisi antirasuah menetapkan petinggi Korps Bhayangkara, Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi.

Korps seragam coklat itu balik menyerang KPK dengan menetapkan dua pimpinan KPK saat itu, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka kasus tindak pidana umum. Samad dijerat kasus dokumen palsu sedangkan Bambang disangka dalam kasus kesaksian palsu saat sidang.

"Revisi ini belum tepat waktunya, karena selain iklim politik, akan berdampak pada eksistensi KPK terutama kelembagaan, struktur, kewenangan maupun teknis ketentuannya," ucap Anto –sapaan akrab Indriyanto.

Secara terpisah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly enggan berkomentar. Ia mengklaim pemerintah selama ini tak campur tangan dalam pengajuan draf tersebut.

"Pemerintah tidak ada mengajukan draf," kata Yasonna kepada CNN Indonesia.

Di Kompleks Istana Kepresidenan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan akan berbicara dengan Menkumham soal rencana DPR merevisi UU KPK tersebut.

"Kami akan segera komunikasikan dengan Menkumham karena kami tidak tahu perkembangannya seperti apa," ujar Pratikno.

Menurut mantan Rektor UGM itu, sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari Presiden Jokowi terkait revisi UU KPK.

Potensi tumpang-tindih

Jika RUU KPK tetap dibahas DPR dan pemerintah, bahkan diketok palu, Indriyanto menilai hal itu berpotensi menimbulkan tumpang-tindih, sebab seharusnya revisi UU KPK dilakukan bersamaan dengan pembahasan revisi aturan lainnya.

"RUU KPK sangat tergantung dengan sinkronisasi atau harmonisasi dengan pembahasan RUU Tindak Pidana Korupsi, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), dan Asset Recovery (Pengembalian Aset)," kata dia.

Terdapat sejumlah perubahan dalam RUU KPK. Pada Pasal 5 misalnya disebutkan, "KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan." Padahal sebelum direvisi, pasal tersebut tidak pernah ada dalam UU KPK. Ini adalah pasal tambahan yang diusulkan parlemen, membuat jumlah pasal yang sebelumnya 72 kini total menjadi 73.

Selain itu di pasal terakhir, DPR memberi tambahan redaksi yang mempertegas usia KPK bakal berakhir setelah 12 tahun UU tersebut diundangkan. "Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berakhir setelah 12 tahun sejak diundangkan," demikian kutipan Pasal 73 yang menjadi penutup dari draf usulan revisi UU KPK.
Aturan lainnya yakni pada Pasal 42 RUU KPK terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sebelumnya, lembaga antirasuah ini tak punya wewenang untuk menghentikan pengusutan kasus dalam masa penyidikan. Semua kasus yang disidik akan berujung pada meja hijau.

Hal lain yakni persoalan pembatasan penanganan perkara dengan kerugian negara Rp50 miliar. Selama ini KPK berhak menangani perkara dengan batasan total transaksi korupsi Rp1 miliar. Aturan yang baru seakan membatasi penanganan perkara.
Sejak tahun 2004 hingga semester I tahun 2015, KPK berhasil menghelat penyelidikan 705 perkara, penyidikan 427 perkara, penuntutan 350 perkara, inkrah (berkekuatan hukum tetap) 297 perkara, dan eksekusi 313 perkara.

Total ada 45 anggota DPR yang menjadi inisiator revisi UU KPK, dengan rincian 15 orang dari Fraksi PDIP, 11 orang dari NasDem, sembilan orang dari Golkar, lima orang dari Partai Persatuan Pembangunan, tiga orang dari Hanura, dan dua orang dari Partai Kebangkitan Bangsa. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER