Jakarta, CNN Indonesia -- Tugas pembebasan lahan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah untuk digunakan sebagai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap telah diserahkan oleh perusahaan swasta PT Bhimasena Power Indonesia ke PT Perusahaan Listrik Negara. Dalam prosesnya nanti organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace Indonesia menduga ada permainan yang dijalankan PT BPI ataupun PT PLN.
Aktivis Greenpeace Indonesia, Desriko Malayu Putra menilai ada beberapa keanehan yang terjadi dalam proses pembebasan lahan oleh PLN. Meskipun proses tersebut masih belum dilakukan lantaran adanya gugatan sengketa, tapi dirinya menduga keanehan tersebut pasti terjadi.
Keanehan pertama yang dia temukan adalah status dari lahan yang akan dibebaskan. Sekitar 12,5 hektare tanah yang rencananya akan dibebaskan oleh PLN berada di lahan yang izinnya atas nama PT BPI. "12,5 hektare tanah yang berupa titik-titik tersebut ada di lahan milik PT BPI. Izin lahan itu dikeluarkan untuk PT BPI," kata Riko saat ditemui di Jakarta, Rabu (7/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seandainya PLN sukses merealisasikan pembebasan lahan, 12,5 hektare itu akan menjadi milik mereka dan bukannya milik PT BPI. Padahal niat awal perubahan tugas pembebasan lahan adalah agar proyek PLTU Batang oleh PT BPI bisa segera terlaksana.
Meski begitu PLN masih bisa melalkukan permainan di sini. Riko menilai PLN bisa saja menjual atau menyewakan lahan tersebut untuk digunakan oleh PT BPI. "Atau lahan PLN itu diberikan sebagai bagian pembayaran listrik yang nanti dibeli PLN dari PT BPI," katanya.
Permainan kedua adalah penyelewengan anggaran yang bisa saja dilakukan oleh PT PLN. Riko menduga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 tidak ada alokasi dana PLN untuk pembebasan lahan di Batang.
Proses perubahan tugas pembebasan lahan baru dilakukan PT BPI dan PLN pada medio Februari 2015. Menurut Riko saat itu sudah tidak ada lagi proses pembahasan anggaran oleh pemerintah ataupun DPR RI. "Kalau begitu mereka membeli lahan mengggunakan uang siapa? Apakah menggunakan anggaran program lain? Kan tidak boleh," kata Riko. "Atau jangan-jangan mereka membayar pembebasan lahan menggunakan uang milik PT BPI. Itu penyelewengan namanya, bisa jadi juga korupsi."
Bupati Batang mengeluarkan izin pembangunan PLTU oleh PT BPI Pada 2011. Luas lahan yang disetujui Bupati Batang saat itu adalah 226 hektare atau mencakup sekitar lebih dari tiga desa.
Namun untuk bisa menggunakan lahan tersebut, Bupati Batang menegaskan bahwa PT BPI harus membebaskan lahan milik warga terlebih dahulu. Dengan adanya permintaan Bupati Batang tersebut, PT BPI melakukan segala cara agar masyarakat mau menjual tanahnya pada mereka. "Dari mulai menggunakan preman, oknum polisi, bahkan oknum TNI. Tidak jarang ada juga masyarakat yang dipukuli, diintimidasi, hingga dipenjara," ujar Riko.
Namun pada pertengahan 2014, PT BPI menyerah dalam melakukan pembebasan lahan karena penolakan luar biasa yang ditunjukkan oleh warga masyarakat di sana. Oleh sebab itulah pada Februari 2015 tugas pembebasan lahan diberikan kepada PT PLN selaku perusahaan negara.
Saat proyek PLTU Batang dimulai total dana yang dibutuhkan untuk membangun dipatok pada angka US$ 4 juta atau jika dirupiahkan (dengan nilai tukar Rp 15.000) akan menyentuh angka Rp 60 triliun.
Sebenarnya target pemerintah saat itu PLTU Batang akan selesai dan bisa beroperasi pada 2016 mendatang. Namun karena gagal memenuhi
financial closing hingga tenggat waktu yang telah ditentukan, pembangunan pun urung dilaksanakan.
Berdasarkan data Greenpeace, pertama kalinya PT BPI gagal memenuhi tenggat
financial closing adalah pada 6 Oktober 2012. Lalu karena gagal memenuhi tenggat maka pemerintah saat itu memperpanjang tenggat hingga 6 Oktober 2013.
Sayangnya, perpanjangan tenggat tersebut bernasib sama dengan sebelumnya dan akhirnya perpanjangan kembali dilakukan hingga 6 Oktober 2014. Namun, setelah perpanjangan tersebut financial closing tetap belum bisa dipenuhi, hingga tenggat kembali diperpanjang hingga kemarin, Selasa (6/10). Jika ditotal, perpanjangan tenggat
financial closing proyek PLTU Batang terjadi empat kali.
Gagalnya PT BPI memenuhi tenggat waktu
financial closing tersebut diakibatkan oleh masyarakat yang menolak memberikan lahan mereka. Itu menyebabkan proses pembebasan lahan belum tuntas hingga waktu yang telah ditetapkan.
(bag)