Pemasok Dana Proyek PLTU Dikagetkan Kondisi Warga Batang

Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Rabu, 07 Okt 2015 23:59 WIB
Dana tak kunjung dicairkan setelah perwakilan Bank asal Jepang melihat kondisi langsung di lapangan.
Puluhan warga Batang bersama LSM Greenpeace Indonesia melakukan aksi teatrikal di depan Merdeka, Jakarta, Rabu 3 Juni 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Kampanye Energi organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace Indonesia Desriko Malayu Putra menduga cara pembebasan lahan PLTU Batang jadi penyebab dana tak kunjung cair hingga kini.

Sebuah bank asal Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang dipercaya menjadi penyandang dana kaget dengan cara pembebasan lahan yang tak manusiawi.

"Beberapa waktu lalu JBIC mendatangi lokasi dan bertemu para warga. Saat itu mereka sampai geleng-geleng kepala," kata Desriko saat ditemui di Jakarta, Rabu (7/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tanggal 29 September 2015 lalu delapan orang perwakilan JBIC datang ke Kabupaten Batang. Mereka menurut Riko kaget karena penjelasan warga mengenai kondisi sebenarnya yang terjadi di sana.

Para warga, salah satunya Cayadi, menceritakan bahwa proses pembebasan lahan dilakukan dengan cara tidak manusiawi, dimulai dari pemaksaan hingga penganiayaan.

"JBIC kaget karena laporan yang diberikan oleh PT BPI (Bhimasena Power Indonesia) menyatakan proses pembebasan lahan berjalan lancar dan tidak ada masalah," kata Riko. BPI adalah konsorsium yang beranggotakan tiga perusahaan yakni satu perusahaan Indonesia dan dua perusahaan Jepang.

Saat itu obrolan perihal kondisi warga saat itu memang tidak berjalan dengan lancar karena para perwakilan JBIC tidak ada yang fasih berbahasa Inggris. Sementara penerjemah pun tidak terlalu membantu komunikasi antara warga dan JBIC.

Namun, Riko yang saat itu ikut mendampingi warga menemui JBIC, menilai bahwa ada sedikit keraguan yang ditunjukkan oleh perwakilan bank asal Jepang itu meski tak menyatakan dengan tegas.

"Mereka belum menentukan sikap tegas," kata Riko.

Ia tahu pasti jika JIBC punya aturan tegas dalam memberikan dana pinjaman kepada siapapun. Poin utama yang tak boleh dilakukan oleh perusahaan peminjam dana adalah soal pelanggaran hak asasi manusia.

"Jika ketahuan ada tindakan pelanggaran HAM pasti akan langsung di-cut," ujarnya.

Proyek PLTU Batang tersebut dimulai pada 2011 lalu dan tender dimenangkan oleh PT BPI sebagai konsorsium. Anggota konsorsium ini adalah PT Adaro asal Indonesia dan dua perusahaan asal Jepang PT Jpower dan PT Itochu.

Proyek ditaregtkan selesai dan bisa beroperasi taun 2016. Namun pembangunan tak kunjung terlaksana karena pemenang tender tak juga memenuhi persyaratan pembiayaan.

Padahal sudah empat kali tenggat waktu perpanjangan pemenuhan persyaratan pembiayaan diperpanjang.

Gagalnya PT BPI memenuhi tenggat waktu pembiayaan tersebut disebabkan oleh masyarakat yang menolak menjual lahan mereka. Hal itu membuat proses pembebasan lahan belum tuntas hingga waktu yang telah ditetapkan.

Permainan Makelar Tanah

Berbagai cara dilakukan PT BPI agar masyarakat mau menjual tanah mereka untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTU. Cara halus hingga cara kasar ditempuh oleh perusahaan tersebut.

Untuk cara halus, Riko menjelaskan bahwa warga mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan pembebasan lahan mereka. Kisaran harga tanah yang ditawarkan adalah Rp 35.000 hingga Rp 60.000 per meter persegi.

Sayangnya, kisaran harga tersebut tak luput dari permainan para penagih, mulai dari preman hingga tokoh masyarakat di Batang. Permainan tersebut dilakukan agar mereka juga mendapatkan keuntungan dari proyek itu.

"Jika perusahaan mematok harga segitu, mereka pasti akan menagih lebih banyak kan. Itu semua agar mendapatkan keuntungan," ujarnya.

Pada 2011 lalu, Bupati Batang mengeluarkan izin pembangunan PLTU oleh PT BPI. Luas lahan yang disetujui Bupati Batang saat itu adalah 226 hektare atau mencakup sekitar lebih dari tiga desa.

Namun untuk bisa menggunakan lahan tersebut, Bupati Batang menegaskan bahwa PT BPI harus membebaskan lahan milik warga terlebih dahulu. Dengan adanya permintaan Bupati Batang tersebut, PT BPI melakukan segala cara agar masyarakat mau menjual tanahnya pada mereka.

"Dari mulai menggunakan preman, oknum polisi, bahkan oknum TNI. Tidak jarang ada juga masyarakat yang dipukuli, diintimidasi, hingga dipenjara," ujar Riko.

Namun pada pertengahan 2014, PT BPI menyerah dalam melakukan pembebasan lahan karena penolakan luar biasa yang ditunjukkan oleh warga masyarakat di sana. Oleh sebab itulah pada Februari 2015 tugas pembebasan lahan diberikan kepada PT PLN selaku perusahaan negara. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER