Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji murka lembaga pimpinannya coba diotak-atik oleh 45 anggota DPR beragram fraksi lewat RUU KPK.
Sejumlah kewenangan seperti penyadapan, penyelidikan, penyidikan, penyitaan, dan penuntutan, coba dipangkas melalui rancangan usulan DPR itu. Naik pitam, Indriyanto yang juga perumus UU KPK, melontarkan ancaman keras pada anggota parlemen. "Jangan sekali-kali lembaga trigger ini diamputasi. Kita akan menempuh langkah yang secara hukum dibenarkan," kata Indriyanto saat jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (7/10).
Indriyanto menyayangkan nihilnya niat baik dari anggota DPR untuk memberantas korupsi. Buktinya, banyak pasal dalam RUU KPK yang menyulitkan dan membatasi kinerja komisi antirasuah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakar hukum pidana ini pun menjabarkan sedikitnya delapan pasal. Pada pasal 14 RUU tersebut, proses penyadapan harus dilakukan seizin pengadilan negeri. Padahal, selama ini KPK tak meminta izin pengadilan agar memuluskan operasi tangkap tangan. "Lembaga kpk adalah lembaga khusus yang secara historis yang lembaga trigger. Di manapaun di seluruh dunia pasti punya kewenangan khusus," katanya.
Selain itu, Indriyanto menjelaskan kewenangan penghentian penyidikan lewat penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang termaktub dalam pasal 42, 45 ayat 2, dan pasal 49. Menurutnya, pasal tersebut tak seharusnya ada. Dalam undang-undang yang sekarang berlaku, komisi antirasuah juga tak memiliki kewenangan tersebut. "Kita tidak boleh menerbitkan SP3 karena ada filosofinya. Kita punya karakter beda sebagai lembaga khusus, menemukan bukti permulaan yang cukup dengan minimal dua alat bukti pada penyelidikan bukan penyidikan. KPK melakkukan surveilance dan wire tapping berdasarkan pasal 44," katanya.
Jika pada tahap lidik tak ditemukan bukti yang kuat maka tak akan dilanjutkan. Sebaliknya, jika telah melewati proses lidik dan masuk sidik, artinya, KPK telah mengantongi bukti kuat untuk penetapan tersangka. "Pasal 49, penyitaan harus izin pengadilan negeri, bisa hilang kalau diterapkan. Penyitaan berdasar bukti yang cukup. Pada penyelidikan, KPK sudah ada bukti yang cukup," ucapnya.
Fungsi koordinasi dan supervisi yang termaktub dalam pasal 52 menurut Indriyanto justru tak jalan apabila KPK perlu melaporkan pemeriksaan penyidikan kepada dua lembaga lainnya yakni Kepolisian dan Kejaksaan.
Ihwal penuntutan yang terdapat dalam Pasal 53. Pasal tersebut tak mengizinkan KPK menuntut perkara tindak pidana korupsi, melainkan diserahkan ke pihak Kejaksaan. "Padahal selama ini kewenangan terintegrasi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," ujarnya.
Pasal terakhir yang dikritik adalah usia KPK yang hanya 12 tahun. Indriyanto mengkritiknya lantaran korupsi masih saja ditemukan. "KPK bisa ditutup kalau korupsi bersih sama sekali. Kalau belum, harus tetap hidup dan inilah KPK," ucapnya.
Sejak tahun 2004 hingga semester I tahun 2015, KPK berhasil menghelat penyelidikan 705 perkara, penyidikan 427 perkara, penuntutan 350 perkara, inkracht (berkekuatan hukum tetap) 297 perkara, dan eksekusi 313 perkara. "Kalau pasal-pasal ini tetap ada, lebih baik KPK dibubarkan saja. Ini bukan gigi hilang tapi ompong melompong," tuturnya.
(bag)