Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dinilai tidak paham substansi peruntukan bela negara menyusul rencana Kementerian Pertahanan menerapkan pelatihan bela negara bagi warga negara Indonesia (WNI) berusia di bawah 50 tahun.
Hal itu dikemukakan Muradi, Ketua Pusat Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung melalui keterangan tertulis, Kamis (15/10).
Muradi mengaku dapat memahami konsep bela negara yang diwacanakan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dalam kerangka tata kelola pertahanan negara. Namun, dia menilai rencana itu terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan Substansi legalitas dan infrastruktur penyokongnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apalagi dengan penekanan akan menargetkan 100 juta dalam waktu 10 tahun, membuat publik merasa bahwa pemerintah nampak tidak paham Substansi peruntukan dari bela negara ini," ujarnya.
Menurutnya, kesan bombastis dan menakut-nakuti publik terbaca ketika ada penekanan kewajiban, di mana bagi yang menolak dipersilakan angkat kaki dari Republik Indonesia. Padahal dalam aturan legal formal dari substansi bela negaran tidak ditekankan mengenai hal itu.
"Urgensinya kemudian senyap manakala substansi peruntukan dari bela negara tidak dikedepankan. Sehingga nampak pemerintah tidak memiliki alternatif lain selain daya paksa tanpa ada aturan yang lebih detil dari UU 3/2002 pasal 9 ayat 3 yang mensyaratkan adanya aturan setingkat UU untuk memperkuat kebijakan tersebut," tuturnya.
Sedikitnya ada lima catatan yang menurut Muradi tidak dilakukan Kemenhan saat melempar wacana bela negara sedari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga perguruan tinggi.
Pertama, jelasnya, pemerintah tidak berupaya mendesakkan dan memperjuangkan RUU Komponen Cadangan dan RUU Bela Negara menjadi produk hukum formal. Meskipun kedua RUU tersebut telah berulang kali diajukan dan terganjal di parlemen. Muradi menilai hal itu sebagai tahapan proses untuk memastikan bahwa kedua racangan beleid tersebut diundangkan sebelum membuat kebijakan bela negara.
"Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka ada kesan pemerintah mengambil jalan pintas tanpa menunggu kedua RUU tersebut diundangkan," katanya. .
Kedua, infrastruktur pendukung juga dinilai Muradi jauh dari kesan disiapkan. Menurutnya, kebijakan tanpa infrastruktur pendukung hanya akan menciptakan permasalahan baru.
"Masih hangat dalam ingatan bagaimana Kebijakan Rakyat Terlatih (Ratih) juga menemui jalan buntu dan menciptakan permasalahan baru karena tidak ditunjang oleh infrastruktur pelatihan yang sesuai. Apalagi dengan 80 persen materi kemiliteran akan membutuhkan infrastruktur yang baik," jelasnya.
Ketiga, Muradi menyoroti soal anggaran untuk menyokong kebijakan tersebut yang yang diyakini tidak sedikit. Dengan asumsi target 100 juta peserta bela negara dalam 10 tahun, maka dalam satu bulan rata-rata akan dilatih sekitar 850 ribu orang di seluruh Indonesia.
"Hal ini membutuhkan anggaran yang luar biasa besar di tengah kebijakan negara dalam memodernisasi postur pertahanan dan alutsista," katanya.
Keempat, Muladi menyinggung soal koordinasi antar-kementerian dan instansi terkait. Apabila dalam RUU Komponen Cadangan ditegaskan akan adanya pelibatan sejumlah kementerian dalam perekrutan untuk bela negara, maka seharusnya ditegaskan instansi mana saja yang akan dilibatkan. Pasalnya, hal ini menyangkut pula sokongan anggaran operasional dari perekrutan bela negara.
"Sekedar gambaran saja selain Mabes TNI dan Kemenhan, setidaknya Kemendagri, Kemendikbud dan Kemenristek Dikti akan terlibat," katanya.
Catatan Muradi yang kelima adalah, publik perlu mengetahui arah dari kewajiban bela negara sehingga tidak menebak-nebak dan buruk sangka atas kebijakan yang dibuat ini.
"Bisa saja Kemenhan memberikan gambaran rencana besar Indonesia untuk memperkuat akselerasi dan pengaruh militer dan politik luar negeri, sehingga timbul semangat kebanggaan dan cinta tanah air yang selaras dengan rencana pemerintah. Semisal terkait dengan penegasan Poros Maritim Dunia yang mampu menggugah rasa cinta tanah air warga," tuturnya.
(ags)