Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga orang oknum Kepolisian Sektor Pasirian, Lumajang, diduga menerima suap dari Kepala Desa Selok Awar-awar, Hariyono, yang berstatus tersangka dalam kasus pertambangan liar dan pembunuhan aktivis petani Salim Kancil. Kini ketiganya sedang menjalani proses sidang etik terkait dugaan tersebut.
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, Jumat (16/10), mengatakan anggota Polri secara umum memang tidak seharusnya menerima uang dalam besaran apapun. Penerimaan uang tidak sesuai dengan sumpah jabatan Polri yang mewajibkan anggota untuk tidak menerima suap dalam bentuk apapun.
Walau demikian, dia tidak bisa menyimpulkan apakah yang dilakukan ketiga oknum polisi itu termasuk pelanggaran pidana gratifikasi. Dia mengatakan, pelanggaran gratifikasi dan suap adalah dua hal yang berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gratifikasi itu kalau misalnya nikah ada sumbangan, itu ada batasnya, kalau tidak salah Rp1 juta. Artinya kalau kasih orang di bawah batas itu bisa. Beda gratifikasi dan suap," ujarnya.
Dalam sidang kode etik, ketiga oknum polisi mengakui memang menerima uang dari Hariyono. Namun, jumlahnya tidak mencapai angka Rp1 juta sebagaimana dikatakan si Kepala Desa yang berstatus tersangka itu.
Sementara itu, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Budi Winarso mengatakan bentuk pelanggaran gratifikasi dilihat dari jabatan si penerima. Ketika si penerima menerima suap karena jabatannya, maka itu dapat dikatakan pelanggaran gratifikasi.
"Intinya itu tidak boleh, karena jabatannya. Tapi kalau tidak punya jabatan, dapat dari seseorang ya gak masalah, itu pengasihan," ujarnya.
Merujuk kepada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, "Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya."
"Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."
Namun, dalam penjelasan tersebut gratifikasi tidak dijelaskan sebagai sesuatu yang melanggar hukum. Artinya, tindakan-tindakan itu tidak selalu menyalahi hukum.
Gratifikasi dapat dikatakan menjadi pelanggaran pidana atau korupsi jika berkesesuaian dengan rumusan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 sendiri: "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya."
Permasalahan suap ini berawal dari pembukaan tambang pasir di wilayah tersebut. Salim Kancil dan rekan-rekannya menentang pembukaan tambang tersebut lantaran bisa merusak lingkungan. Mereka pun menggelar aksi damai untuk menyampaikan aspirasinya.
Namun, tak lama setelah menggelar aksi, Salim dan salah seorang rekannya, Tosan, justru dibawa paksa dan dianiaya oleh sekelompok orang. Salim kehilangan nyawanya akibat perbuatan itu, sementara Tosan menderita luka berat.
Berangkat dari pengusutan kasus itu, belakangan muncul dugaan ada oknum polisi yang menerima suap. Suap itu, kata Budi, diduga telah berlangsung selama enam bulan dan berkaitan dengan penjagaan portal menuju pertambangan yang dikelola Hariyono.
(rdk)