Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengecam pelarangan dan penarikan majalah pers mahasiswa di Salatiga, Jawa Tengah. Majalah Lentera edisi "Salatiga Kota Merah" itu diterbitkan Universitas Kristen Satya Wacana pada 9 Oktober, dan mempublikasikan karya jurnalistik investigasi serta jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September 1965 bagi Kota Salatiga.
"Ini adalah kejadian yang memperihatinkan," ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nur Khoiron di Jakarta, Minggu (25/10).
Penarikan dan pelarangan majalah tersebut, kata Nur Khoiron, menunjukkan sikap represif pemerintah terhadap pengungkapan kasus 1965. Dia yakin tindakan represif ini tak akan mengurangi rasa keingintahuan masyarakat tentang peristiwa kelam di masa lalu itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 1965, pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September malam di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
"Lentera itu adalah ekspresi polos dari generasi muda yang bahkan tidak pernah mengalami apa yang terjadi pada tahun 1965. Rasa penasaran masyarakat saat ini sangat tinggi," kata Nur Khoiron.
Dalam proses penulisan, para jurnalis Majalah Lentera melakukan penelusuran terhadap Wali Kota Salatiga Bakri Wahab yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia. Mereka juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Salatiga dan sekitarnya dengan melakukan investigasi di beberapa titik pembantaian.
Majalah yang dibanderol seharga Rp15 ribu itu dijual sebanyak 500 eksemplar kepada masyarakat Salatiga dengan cara dititipkan di sejumlah kafe. Majalah itu juga disebarluaskan ke instansi-instansi pemerintahan di Salatiga serta organisasi masyarakat di Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Klaim demi keamananMarkas Besar Polri menyatakan pelarangan dan penarikan majalah pers mahasiswa di Salatiga, Jawa Tengah, adalah demi keamanan masyarakat.
"Karena mungkin di level bawah, tidak semua bisa menerima (majalah ini). Ada pro dan kontra," kata Staf Humas Mabes Polri Ajun Komisaris Besar Achmad Sabri.
Achmad mengatakan, Kepolisian mendapat informasi bahwa penerbitan majalah tersebut memicu riak-riak di masyarakat yang berpotensi mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban.
Berdasarkan informasi itulah, ujar Achmad, polisi menggelar pertemuan dengan semua pemangku kepentingan di tingkat kota.
"Sesuai tugas dan fungsi Polri, kami melakukan pencegahan. Makanya kami bicarakan di tingkat kota. Kami undang juga pihak kampus, dan kampus juga menyetujui (majalah ditarik)," kata Achmad.
Namun ketika ditanyai riak seperti apa yang ia maksud, Achmad menolak untuk menjelaskan. "Tidak bisa saya sampaikan di sini karena itu adalah konsumsi intelijen untuk disampaikan ke pimpinan," ujarnya.
Berdasarkan kesepakatan antara pemerintah kota dan kampus, polisi kemudian menarik majalah-majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah” yang sudah kadung disebarluaskan. Majalah itu lantas tidak boleh diterbitkan kembali.
(agk)