Qanun Jinayat Aceh Digugat ke MA

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Selasa, 27 Okt 2015 18:55 WIB
Pemerhati hak asasi manusia, ICJR dan Solidaritas Perempuan mengajukan uji materi ke MA karena Qanun Jinayat dianggap bertentangan dengan undang-undang.
Satu dari enam terdakwa dalam kasus judi menjalani hukum cambuk usai shalat Jumat di Mesjid Al-Munawarah, Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (6/3). Enam terdakwa dalam kasus judi itu masing-masing menjalani lima kali pencambukan sesuai dengan Qanun Syariat Islam nomor 13 tahun 203 tentang maisir (judi). (Antara Foto/Ampelsa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Qanun Jinayat di Aceh digugat sejumlah lembaga pemerhati hak asasi manusia, ICJR dan Solidaritas Perempuan. Mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung karena Qanun Jinayat dianggap bertentangan dengan undang-undang.

Komisioner Komisi Nasional HAM Roichatul Aswidah menilai pemberlakuan Qanun Jinayat telah mengabaikan perjanjian perdamaian Aceh atau MoU Helsinki.

"Kalau ada pengaturan kembali qanun di Aceh, tidak lain harus ada perwujudan HAM di Aceh. Persis di sini tidak terjadi, menyimpang dari niatan semula. Qanun ini juga menyimpang dari keseluruhan konstruksi hukum nasional," kata Roi di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/10).
Dalam paragraf 1.4.2 MoU Helsinki disebutkan bahwa legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam konvenan internasional PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedudukan qanun dalam sistem hukum Indonesia adalah setingkat dengan peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Berdasarkan status kekhususannya, Aceh diberikan kewenangan khusus untuk menerapkan nilai-nilai syariat Islam kepada masyarakat setempat. Hal itu diatur dalam qanun.

Qanun Jinayat telah disahkan tahun lalu, dan berlaku efektif di Aceh mulai 23 Oktober 2015. Sementara pembahasannya telah dilakukan sejak 2008.

Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu menyebutkan bahwa qanun jinayat bertentangan dengan sepuluh undang-undang, di antaranya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Internasional Convenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi melalui UU Nomor 13 Tahun 2005;

Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi menentang penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) yang diratifikasi melalui UU No 5 Tahun 1987; UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah melalui UU No. 35 Tahun 2004; UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Erasmus menambahkan, ada tiga hal yang menjadi pertentangan antara qanun jinayat dengan kerangka hukum nasional, termasuk konstitusi dan beberapa ketentuan internasional yang telah positif berlaku di Indonesia.
Pertama terkait perumusan norma pidananya yang dinilai multitafsir, diskriminatif, over criminalisasi, duplikasi dengan kebijakan hukum pidana nasional. Hal ini berpotensi menyasar kelompok rentan yaitu perempuan dan anak.

Kedua, mengenai pemidanaan ya yang bersifat merendahkan martabat manusia termasuk penggunaan corporal punishment atau pidana cambuk, dalam hal ini hukuman cambuk di depan umum.

Ketiga, qanun dinilai melanggar prinsip fair trial bagi tersangka dan terdakwa. Dalam praktiknya implementasi qanun bersifat selektif, diskriminasi, dan tidak diatur dalam hukum acara yang benar sesuai standar prinsip fair trial. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER