Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Bidang Ketenagakerjaan Pusat Penelitian dan Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Triyono menilai kebijakan pengupahan yang terwujud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 berdampak negatif pada kondisi ketenagakerjaan.
Kebijakan tersebut dinilai akan menguntungkan daerah yang gerakan buruhnya lemah.
Triyono mengatakan, dengan adanya penetapan PP ini buruh tidak harus bernegosiasi dan melakukan demonstrasi untuk menunggu kenaikan upah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi, upah minimum provinsi di beberapa daerah masih di bawah angka komponen hidup layak atau KHL. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan masih ada delapan provinsi yang menetapkan UMP di bawah KHL.
Penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan yang tidak transparan dan tanpa dialog, menurutnya, memunculkan penolakan PP Pengupahan melalui demo buruh.
Hal ini berdampak pada hubungan industrial yang tidak harmonis sehingga mengganggu iklim ketenagakerjaan yang tidak produktif dan kesempatan kerja.
"Padahal kita dihadapkan pada realitas adanya peluang bonus demografi dan pentingnya penciptaan kesempatan kerja yang layak," kata Triyono di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (3/11).
Peneliti Pusat Analisis Sosial AK3, Indrasari Tjandraningsih menyatakan ada kerancuan dalam pemahaman mengenai upah dan kesejahteraan. Menurutnya upah minimum bukan untuk menyejahterakan buruh, melainkan untuk menahan agar buruh tidak jatuh ke bawah garis kemiskinan.
"Upah minimum adalah upah untuk jaring pengaman secara teoritis maupun normatif. Pengertian ini yang sering rancu oleh buruh maupun pemerintah sendiri," kata Indrasari.
Dia menjelaskan, jika berbicara upah tanpa minimum maka hal itu menyangkut kesejahteraan. Di dalamnya membahas soal harga tenaga kerja yang patut dibayar.
"Itu harus dirundingkan oleh pekerja dan pengusaha dalam sebuah unit usaha," ujarnya.
Sedangkan, jika bicara upah minimum, maka sebenarnya peran negara hadir di dalamnya. Menurutnya, upah minimum adalah kewajiban negara bagi warga negaranya yang bekerja agar dia tidak diperlakukan secara semena-mena oleh pemberi kerja atau pengusaha.
Hal ini erat kaitannya dengan pengangguran di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik Februari 2015 menyebutkan, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,45 juta.
"Kita kelebihan tenaga kerja, antara ketersediaan kesempatan kerja dan ketersediaan pencari kerja sangat timpang. Di situlah negara hadir agar mereka yang berebut mencari kerja tidak tereksploitasi atau dibayar semena-mena," kata Indrasari.
Triyono berpendapat, keberadaan PP Pengupahan ini bisa menjadi jalan tengah agar perusahaan tetap berjalan, lapangan kerja bisa tercipta, investasi meningkat, dan buruh terlindungi.
"Formula yang diajukan pemerintah bisa dikatakan jalan tengah, karena kita melihat permasalahan bukan hanya dari dua sisi, pengusaha dan buruh, tapi juga pencari kerja. Kalau cuma dua sisi, pencari kerja mau dikemanakan kesempatannya," kata Triyono.
Namun di sisi lain juga menimbulkan hal negatif karena penetapan PP ini justru kontraproduktif, tidak sejalan dengan semangat dialog antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Pegiat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Pratiwi Febry menilai proses pembuatan PP ini tidak partisipatif dan tertutup bagi publik.
"PP Pengupahan jelas tidak tepat karena dari sisi formil saja prosesnya sudah cacat," kata Pratiwi.
Terkait formula, dia sepakat dengan Triyono yang menyebut ini sebagai jalan tengah. Namun menurutnya, formula yang diatur dalam PP pengupahan adalah formula penetapan upah minimum.
Jaringan pengaman ini adalah tanggung jawab negara, sedangkan penentuan upah adalah negosiasi antara pekerja dengan pengusaha.
"Diskursus yang harus dibangun ke depan, bagaimana pemerintah menetapkan upah dengan melibatkan pemerintah daerah," katanya.
(meg)