Cegah Gratifikasi, Kemenkes Gandeng KPK Bangun Sistem

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Jumat, 06 Nov 2015 18:10 WIB
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan sistem menjadi pencegahan bagi pegawai negeri dan dokter menerima sponsor atau hadiah dari perusahaan farmasi.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek dan Ketua Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin bertemu Plt Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi Sapto Pribowo membahas sistem gratifikasi, di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/11). (DetikFoto/ Rengga Sancaya)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek dan Ketua Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin bertemu Plt Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi Sapto Pribowo membahas sistem gratifikasi, di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/11).

Sistem tersebut sebagai kebijakan pencegahan bagi kaum pegawai negeri dan dokter untuk menerima sponsor atau hadiah dari perusahaan farmasi.
"Saya ingin penjelasan KPK apa itu gratifikasi, sampai batas mana. Kami juga ingin bangun sistem kalau memang dirasakan gratifikasi, kami uraikan lagi tata aturannya, dan untuk siapa diberlakukannya," kata Nila di Gedung KPK, Jakarta.

Selama ini, Nila menjelaskan, telah ada aturan pelaporan gatifikasi di kementeriannya. Namun, aturan tersebut dirasa belum maksimal lantaran tidak merambah ke seluruh pihak termasuk dokter. Padahal, dokter berstatus pegawai negeri. Selama ini, kebijakan internal IDI memberikan sanksi bagai para dokter yang menerima hadiah dari perusahaan farmasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami serahkan (dokter yang menerima hadiah) ke IDI karena di sana ada majelis untuk kedokteran," ujarnya.

Sementara itu, Johan menjelaskan pihaknya akan membantu kementerian dalam pemberian rekomendasi sistem tersebut. Komisi antirasuah sendiri tengah melakukan kajian terkait potensi gratifikasi yang diterima dokter untuk memuluskan pemakaian merek obat tertentu di rumah sakit dan klinik.

"Bagaimana menghilangkan gratifikasi tanpa harus merugikan pihak-pihak seperti pasien, dokter, dan rumah sakit. Di undang-undang, jelas PNS atau penyelenggara negara tidak boleh terima imbalan apa yang di luar penerimaan (gaji). Harus dilaporkan," kata Johan.

Praktik Gratifikasi

Zainal mengungkapkan, selama ini terjadi praktik mafia obat yang melibatkan para dokter. Dalam sistem pencegahan nanti, Zainal berharap akan ada perbaikan agar kasus tersebut tak terulang.

"Nanti akan mencegah kontak langsung antara dokter dan farmasi. Karena itu, semua perusahaan farmasi akan berhubungan dengan pemerintah," ujarnya.
Zainal mengungkapkan visinya untuk memberikan pelayanan yang baik dengan jaminan kesehatan yang bagus.

"Gratifikasi luas sekali. Yang kami pahami itu tidak boleh suap. Memang kami sudah mengkonsultasikan dengan KPK apa yang boleh diterima atau tidak oleh dokter," katanya.

Zainal mengatakan, terdapat praktik-praktik pemberian sponsor yang diperbolehkan diterima oleh para dokter sesuai dengan kode etik dokter.

"Perusahaan farmasi juga boleh memberikan, misal dokter membuat sebuah penelitian, dokter itu boleh mengajukan proposal ke perusahaan farmasi untuk mensponsori. Asal tidak menggunakan untuk yang lain," katanya.

Selain itu, perusahaan farmasi juga dapat memberikan sponsor untuk simposium dan seminar.

"Dengan batas-batas tertentu, hanya boleh transportasi, tiket misalnya untuk kelas ekonomi. Hotel sudah ditentukan kelasnya dan akomodasi," ucapnya.

Pemberian honorarium pun diperbolehkan sepanjang para dokter menjadi pembicara dalam sebuah seminar dan bukan peserta.

"Kami tidak tahu yang sekarang ini seperti apa. Setiap perusahaan farmasi memberi, ada buktinya. Kami tidak tahu diberikannya dalam rangka apa. Kalau kontrak dokter dan perusahaan, tidak boleh. Ada sanksi etik," ucapnya. Sanksi tersebut dapat berupa teguran dan pengucilan di kelompoknya. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER