Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Pusat Pengkajian Persampahan Indonesia Sodiq Suhardianto menilai, sudah saatnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa mengelola sampah sendiri. Tersedianya empat lahan di ibu kota bisa jadi alternatif agar tak selamanya Jakarta tergantung pada Bekasi untuk bisa membuang sampah di Bantargebang.
Jika ingin mengelola sampah sendiri, hal mutlak yang harus dilakukan Pemprov adalah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
"Solusi sampah di Jakarta adalah secepatnya diterapkan instalasi pemrosesan sampah di dalam kota," kata Sodiq kepada CNN Indonesia, Selasa (10/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Empat lokasi yang saat ini dimiliki Pemprov untuk mengolah sampah yakni di Sunter, Marunda, Cilincing dan Duri Kosambi. Lokasi terakhir menurut Sodiq punya sedikit kendala karena berada di tengah permukiman padat.
Dengan perkiraan masing-masing lokasi bisa mengolah 1.500 ton sampah per hari, maka dalam sehari bisa dikelola sampah 6.000 ton.
Saat ini warga ibu kota menghasilkan sampah sebanyak 6.500 ton per hari. Artinya, jika bisa mengoperasikan empat tempat itu, tinggal memikirkan 500 ton sampah lagi.
Menurut Sodiq, ada tiga pilihan teknologi yang bisa dipakai oleh Pemprov DKI jika ingin memiliki instalasi pengolahan sampah dalam kota.
Pertama adalah teknologi incinerator. Dengan teknologi ini, sampah yang ada dibakar habis. Namun menurut Sodiq, teknologi terbaru tungku pembakaran sudah menggunakan filter sehingga pembakaran tidak mencemari lingkungan.
Teknologi terbaru memungkinkan pembakaran sampah tak menghasilkan asap sama sekali. "Incinerator ini sudah dipakai di Singapura, Jepang dan China," ujarnya. Kapasitasnya mencapai 1.000 hingga 2.000 ton per hari.
Teknologi selanjutnya yang bisa dipakai oleh Pemprov DKI Jakarta adalah gasifikasi. Dalam proses ini sampah dipanaskan sehingga bisa menghasilkan gas yang bisa dimanfaatkan.
"Ada juga teknologi dry anaerobic digestion," kata Sodiq. Teknologi ini adalah teknologi penguraian sampah. Dengan menggunakan teknologi ini, sampah diubah menjadi kompos. Bahkan air sampah (licid) bisa dimanfaatkan oleh teknologi ini.
Saat ini DKI Jakarta masih sangat tergantung pada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang di Bekasi. Beberapa waktu lalu saat angkutan sampah menuju Bantargebang dihadang warga, Pemprov DKI kelimpungan. Pasalnya, banyak tumpukan sampah di Jakarta yang tak terangkut.
Selain itu, polemik juga terjadi antara Pemprov DKI dengan Pemerintah Kota Bekasi. Pemkot Bekasi menilai ada sembilan pelanggaran yang dilakukan Pemprov DKi dalam Perjanjian Kerjasama Nomor 4 tahun 2009 tentang Pemanfaatan Lahan TPST Bantargebang.
Sembilan pelanggaran itu antara lain, volume sampah yang terus bertambah setiap harinya, pembangunan sabuk hijau, pembuatan sumur pantau, dan belum diberikannya bantuan kendaraan operasional untuk kecamatan dan kelurahan di Bantargebang.
(sur)