Jayapura, CNN Indonesia -- “Padahal ini negara demokrasi. Dan kalau mau dilihat, alinea UUD 45 mengatakan ‘Kemerdekaan adalah hak segala bangsa’. Maka berarti yang saya suarakan itu adalah UUD 45 secara murni dan konsekuen, tapi saya malah disalahkan,” ujar Filep Karma, tahanan politik Indonesia yang telah mendekam di penjara sejak 2005 kepada CNN Indonesia.
Semasa terpenjara, Filep Karma pernah menolak pemberian remisi, grasi, hingga amnesti dari Pemerintah Indonesia. Ia menilai pemberian keringanan dan ampunan tersebut hanya untuk tahanan kriminal dan orang yang bersalah.
(Ikuti FOKUS: Lelaki ini Bernama Filep Karma)Berikut kutipan surat Filep kepada Presiden Joko Widodo saat menolak grasi yang seharusnya ia terima pada Agustus lalu:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“JAYAPURA, 13 AGUSTUS 2015
KEPADA YTH.
SAUDARA MENTERI HUKUM DAN
HAK AZASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA
DI JAKARTA
DENGAN HORMAT,
DENGAN INI SAYA YANG BERTANDA TANGAN DI BAWAH INI
NAMA : FILEP JACOB SAMUEL KARMA
UMUR : 55 TAHUN
STATUS : TAWANAN POLITIK OPM – 15 TAHUN
ALAMAT : LEMBAGA PERMASYARAKATAN KELAS IIA ABEPURA DI JAYAPURA
MENYATAKAN: MENOLAK
1. REMISI YANG DIBERIKAN SEPANJANG MASA PENAWANAN SAYA SEJAK 01/02 DESEMBER 2004 S/D 30 NOVEMBER 2019 OLEH MENTERI HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPADA SAYA.
2. PEMBERIAN GRASI ATAU AMNESTI OLEH PRESIDEN INDONESIA, KEPADA SAYA.
ALASAN PENOLAKAN:
1. SAYA ADALAH TAWANAN POLITIK KARENA BERIDEOLOGI PAPUA BARAT MERDEKA, DAN BUKAN PELAKU TINDAK KRIMINAL
2. AKSI SAYA PADA 01 DESEMBER 2004, SUDAH SESUAI DENGANUU NO. 9 TAHUN 1998; PEMBUKAAN UUD 1945 ALINEA PERTAMA; PASAL 28 UUD 1945
3. UU NO. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN , DI DALAMNYA ADA KLAUSUL YANG MENGATUR REMISI YANG SESUAI BAGI PELAKU TINDAK KRIMINAL DAN TIDAK TEPAT UNTUK PELAKU POLITIK
4. SAYA SEBELUM DIPENJARA SUDAH BERKELAKUAN BAIK
5. SAYA DITAWAN DAN DIDAKWA SERTA DITUNTUT DENGAN PASAL KARET DALAM KUHP YAITU PASAL 104 S/D PASAL 110
6. SAYA SEBAGAI PELAKU POLITIK TIDAK MAU DIDEGRADASI SEBAGAI PELAKU TINDAK KRIMINAL LEWAT PEMBERIAN REMISI, GRASI, DAN AMNESTI
7. MERUJUK KEPADA....... HALAMAN 2.
8. MERUJUK KEPADA VONIS/KEPUTUSAN UN WORKING GROUP ON ARBITRARY DETENTION TANGGAL 02 SEPTEMBER 2011 YANG DISIARKAN TANGGAL 16 NOVEMBER 2011
9. TAWARAN REMISI, PEMBEBASAN BERSYARAT, GRASI DAN AMNESTI YANG SELAMA INI DITAWARKAN OLEH NEGARA INDONESIA TIDAK MENUNJUKKAN “ITIKAD BAIK” DALAM MENYELESAIKAN PERSOALAN POLITIK DI PAPUA TETAPI SEMATA HANYA UNTUK MENGHINDARI TEKANAN POLITIK INTERNASIONAL PEMERINTAH INDONESIA DIMATA MASYARAKAT INTERNASIONAL
MAKA SAYA MEMPUNYAI SIKAP; “NEGARA INDONESIA HARUS SADAR TELAH MELAKUKAN KESALAHAN DALAM PROSES HUKUM TERHADAP SAYA; DAN HARUS MEMBERIKAN BEBAS TANPA SYARAT DIIKUTI DENGAN REHABILITASI NAMA BAIK; TERMASUK JUGA TAWANAN POLITIK OPM LAINNYA DAN RMS YANG MASIH DI RUMAH TAHANAN (RUTAN) DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) DI INDONESIA, MAUPUN YANG MASUK DALAM DAFTAR PENCARIAN ORANG (DPO).
DEMIKIAN KIRANYA HARAP MAKLUM.
ATAS PERHATIAN DAN TINDAK LANJUTNYA, SAYA SAMPAIKAN TERIMA KASIH. SHALOM!
HORMAT SAYA
TTD
FILEP JACOB SAMUEL KARMA
Ditemui wartawan CNN Indonesia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Abepura pada akhir Agustus lalu, Filep mengenakan baju safari khas Pengawai Negeri Sipil, tetapi dengan emblem bendera Bintang Kejora di dada, topi berbendera Timor Leste dan sepatu olahraga Reebok putih.
Ia mengaku menulis surat tersebut setelah mendengar kabar bahwa menjelang 17 Agustus 2015, akan ada remisi baginya. Ia menilai surat tersebut sengaja dibuat sebelum peringatan hari kemerdekaan Indonesia tersebut agar Kemenkumham mengerti keinginannya.
“Saya sudah tahu Menteri akan mengeluarkan SK, mendahului itu saya mengirim surat. Logika saya begitu, sebelum menteri membuat SK, saya memberi permintaan dahulu. Ibaratnya ada masukan. Agar nanti jadi kajian dia membuat SK. Misalnya saya menolak tapi menteri tetap mencantumkan remisi, ya itu kan berarti keinginan dia,” kata Filep.
 Surat dari FIlep Karma yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia. (dok.pribadi) |
Pria yang dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun karena mengibarkan Bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2004 ini menjelaskan bahwa dirinya menolak remisi, grasi dan amnesti terkait beberapa hal. Salah satu yang utama karena definisi tindakannya saat itu sudah sesuai dan tidak melanggar ketentuan dan perundangan yang ada.
“Saya menolak remisi, grasi, amnesti. Itu untuk kriminal. Kalau abolisi dan rehabilitasi saya oke. Saya ingin bebas tanpa syarat dan rehabilitasi nama baik. Kegiatan yang saya lakukan kan hanya sebatas penyampaian aspirasi, tapi dijerat dengan pasal makar,” ujar Filep.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Filep akan memperoleh kebebasan berpendapat selepasnya dari sel.
Ucapan Luhut itu keluar menyikapi keengganan Filep keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura karena tidak merasa akan mendapatkan hak-hak dasarnya seperti hak mengeluarkan pendapat dan berekspresi.
"Kalau dia tidak mau keluar, tidak ada masalah. Tapi soal kebebasan berpendapat, saya kasih tahu sama dia, saya akan lindungi dia, sepanjang ikuti aturan main," ujar Luhut saat di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, pertengahan Agustus lalu.
Luhut mengatakan, pemerintah tidak akan melakukan persiapan apapun menjelang keluarnya Filep dari Lapas. Luhut berkata, meski Filep dinyatakan bersalah karena mengibarkan Bendera Bintang Kejora (lambang Organisasi Papua Merdeka), apa yang dilakukan Filep sebenarnya tidak masuk kategori tindak pidana makar.
"Makar itu kan harus bersenjata," ujar Luhut.
Terkait permintaan Luhut, Filep mengaku tidak jelas dengan definisi makar. Ia meminta definisi tersebut diperjelas lagi agar tidak ada penangkapan yang tak sesuai kepada setiap orang yang menyatakan pendapat.
“Tolong Pak Luhut kasih kriteria makar itu seperti apa. Karena dalam KUHP itu hakim dan jaksa saja masih berselisih pendapat, karena batasannya tidak jelas,” kata Filep.
(gir/sip)