Jayapura, CNN Indonesia -- Filep Jacob Samuel Karma tak akan pernah lupa setiap detik kejadian pada 1 Desember 2004. Hari yang menjadi asal muasal dari terkurungnya raga Filep selama 11 tahun di dalam penjara.
Audryn Karma, anak sulung Filep, sempat menuliskan momen sebelum kejadian tersebut dalam petisi yang dibuatnya melalui situs change.org pada 2013 lalu.
“Besok Bapa mau pergi kibarkan bendera dan mau orasi sedikit di Lapangan Trikora Abepura, kamu dua jaga diri. Kalau Bapa dapat tangkap dari polisi tidak usah kuatir, tidak usah lihat Bapa di kantor polisi. Tinggal di rumah saja dan pergi sekolah seperti biasa. Tuhan Yesus jaga kita semua,” tulis Audryn.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, itulah kata-kata terakhir ayahnya sebelum ditangkap pada tahun 2004.
(Ikuti FOKUS: Lelaki ini Bernama Filep Karma)Dalam buku berjudul “Seakan Kitorang Setengah Binatang,” disebutkan Filep Karma mengatur acara peringatan deklarasi kemerdekaan Papua dengan pertemuan kecil di sebuah lapangan di Abepura. Filep berapi-api pidato soal kebangsaan Papua. Dia bicara bahwa “orang Papua” bukan selalu kulit hitam, rambut keriting.
“Di Jawa, ada orang rambut lurus, orang Jawa asli, dia juga peduli pada kita orang. Suatu saat kalau Indonesia kejar dan bunuh orang ini, ‘Sobat kau datang!’ katanya. Orang Jawa, orang Manado, siapa pun yang rasa memiliki di kebangsaan Papua adalah bagian dari bangsa Papua. Sebaliknya, banyak orang asli Papua, kulit hitam, rambut keriting, 'makan lebih banyak … hatinya lebih Indonesia'," kata Filep. Pidato tersebut dimuat di YouTube.
Hal tersebut membuat pria kelahiran 14 Agustus 1959 itu ditangkap polisi, diadili, dan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Abepura. Filep erbukti melanggar pasal makar KUHP 106 dan 110. Dia akhirnya dihukum 15 tahun penjara oleh Pengadilan Abepura. Filep naik banding dan kalah terus hingga Mahkamah Agung di Jakarta.
“Waktu ditangkap, saya sempat dipukul dan ditendang. Saya kemudian dipegangi oleh beberapa orang, dan dihantam lagi. Saya juga sempat diinjak-injak sampai lemas,” ujar Filep kepada CNN Indonesia akhir Agustus lalu.
Dalam kesaksian Filep Karma di persidangan, disebutkan lebih dari 200 orang berkumpul bersamanya merayakan Hari Kemerdekaan dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di Abepura, 1 Desember 2004.
Awalnya polisi berusaha membubarkan kerumunan massa. Namun ketika mendapat perlawanan dari sejumlah pengunjuk rasa, polisi melancarkan tembakan dan memukul peserta upacara menggunakan tongkat.
Berbagai laporan menyebutkan empat orang menderita luka-luka, termasuk dua luka di kepala. Seorang petugas pemantau dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia juga dipukuli ketika mencoba memotret kekerasan yang terjadi.
Aparat kemudian mundur sesaat sembari menunggu datangnya bala bantuan, lantas mengakhiri upacara tersebut dengan kekerasan. Filep ditangkap di tempat kejadian dan aparat memukuli serta menginjak-injaknya selama perjalanan ke kantor polisi setempat.
Kejaksaan mengajukan tiga dakwaan untuk Filep: makar penghasutan (dakwaan primer), penghasutan (dakwaan subsider), dan mengobarkan “kebencian atau penghinaan” terhadap pemerintah (dakwaan subsider).
Di persidangan, pengacara Filep mengajukan dokumentasi pembelaan prosedural yang menyoroti keberpihakan Hakim A. Lakoni Hernie. Tim Pembela juga menunjukkan beberapa pernyataan spesifik dari sang hakim yang melanggar Pasal 158 KUHP mengenai ketidakberpihakan pengadilan.
Sebagai contoh, berdasarkan dokumen laporan kuasa hukum Filep, hakim tercatat berkata “Hantam kepala Filep kalau dia berulah” dan mengatainya “Jangan bawa nama Tuhanmu di tempat ini, Tuhanmu sudah lama mati.”
Hari ini, status Filep dinyatakan bebas lantaran menerima remisi dasawarsa dari pemerintah. Ia sempat menolak grasi yang diberikan Presiden Joko Widodo sebab merasa tak pernah bersalah, sedangkan ia menilai pemberian keringanan dan ampunan tersebut hanya untuk tahanan kriminal dan orang yang bersalah.
(gir/sip)