Jayapura, CNN Indonesia -- Filep Jacob Semuel Karma, lelaki yang dianggap banyak orang Papua sebagai satu dari sekian banyak tokoh pejuang kemerdekaan Papua, tidak menghadapi peradilan seorang diri. Ada beberapa orang yang memutuskan untuk menjadi tameng hukum Filep sebelum dia dibui dan bebas shari ini. Mereka bertahan meski tekanan datang dari segala penjuru.
Filep ditangkap pada 2 Desember 2004. Ia didakwa melakukan makar (pemberontakan), sehari setelah ratusan mahasiswa berkumpul di kampus Universitas Cenderawasih dan memulai
long march sambil meneriakkan kata-kata “Papua” dan “Kemerdekaan!”
Teriakan-teriakan mereka juga mencakup ajakan untuk menolak undang-undang otonomi khusus, dan meminta pemisahan Papua dari Indonesia. Karena hal tersebut, sejak 2005 Filep mendekam sebagai tahanan politik di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Abepura.
(Ikuti FOKUS: Lelaki ini Bernama Filep Karma)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gustaf Kawer dan Frederica Korain adalah dua dari sekian banyak orang yang berani untuk menjadi tim pengacara Filep Karma. Mereka dan beberapa rekan di Jakarta mendampingi Filep mengurusi hal-hal legal mantan Pegawai Negeri Sipil tersebut.
CNN Indonesia menemui mereka dalam liputan khusus di Papua akhir Agustus lalu.
“Saya tertarik mendampingi Bapa Filep sejak dulu, kuliah, karena panggilan nurani. Kuliah di Fakultas Hukum Uncen (Universitas Cenderawasih) lulus tahun 2000, saya kemudian ikut LBH Papua di Jayapura," kata Gustaf.
Ia mengaku pada akhirnya memutuskan untuk menjadi anggota tim kuasa hukum Filep karena melihat banyak ketidakadilan yang terjadi di Papua. Di mata Gustaf, Filep Karma adalah sosok yang konsisten hingga hari ini.
“Saya melihat sendiri banyak ketidakadilan saat itu. Saya kenal Bapa Filep sejak kuliah. Saya pikir dia orang yang konsisten. Dia mau meninggalkan kemapanan demi berjuang untuk ketidakadilan.”
Pria kelahiran Merauke, 21 Januari 1976 ini ingat benar bagaimana suasana persidangan pada medio 2004 sampai 2005 tersebut. Situasi sidang kala itu menurutnya tidak kondusif. Bahkan, ia mengaku sempat diusir dari ruang persidangan.
“Saat saya dampingi, hakimnya tidak bagus, sudah buruk sangka. Sebelum sidang mulai Filep sempat berdoa, tapi hakim tiba-tiba memerintahkan polisi untuk menangkap Filep kalau melawan. Saya juga diusir dari persidangan karena dinilai menggangu.”
Lebih lanjut, dalam persidangan pada 2005, Gustaf juga merinci beberapa konflik yang terjadi, seperti perkataan kasar hingga pemukulan yang dilakukan oleh hakim pengadilan.
“Dalam sidang sempat ada konflik karena pengacara tidak hadir, kemudian hakim juga sempat memukul pengunjung sidang.”
Berdasarkan Catatan Pembelaan dari Penasehat Hukum Terdakwa: Filep Karma dalam kasus No. 04/Pid.B/2005/PN-JPR, 2005, tim pembela juga mempertanyakan ketidakberpihakan Hakim A Lakoni Hernie atas dasar bahwa hakim tersebut telah mengeluarkan serangkaian pernyataan keras. Pernyataan semacam itu mencakup antara lain:
“Pecahkan saja di kepala Filep kalau dia berulah’ (Diucapkan dalam arahan hakim kepada polisi untuk membubarkan pidato publik oleh Filep Karma pada tanggal 19 April 2005).”
“Jangan bawa-bawa nama Tuhanmu di sini, Tuhanmu itu sudah mati sejak lama” (Diucapkan kepada Filep saat kesaksian persidangan tanggal 19 April 2005).
“Diam kamu, kamu mau mati ya?” (Diucapkan oleh sang hakim sembari menendangi dan memukuli seorang perempuan demonstran pro-Filep).
Dalam laporan Human Rights Watch pada Februari 2007 berjudul “Protes dan Hukuman Tahanan Politik di Papua”, disebutkan bahwa di sepanjang proses, persidangan Filep Karma selalu diwarnai protes, bentrokan antara pendukung mereka dengan polisi, dan ancaman serta intimidasi terhadap tim pembela mereka oleh orang tak dikenal.
“Pada tanggal 10 Mei 2005, bentrokan besar antara pendukung terdakwa dengan pasukan keamanan terjadi di luar pengadilan. Jendela ruang pengadilan dan beberapa kendaraan hancur ketika para pemrotes melemparkan batu-batu ke arah polisi,” tulis laporan tersebut.
Sementara itu, Frederika Korain menyatakan juga sering memperoleh ancaman saat itu. Meski ketika itu ia belum menjadi pengacara, Frederika membantu tim kuasa hukum dalam aspek nonlegal.
“Saya kadang-kadang juga diteror. Saat itu suasana tidak kondusif sekali,” katanya.
Sesuai laporan HRW, tim pembela Filep Karma menerima ancaman-ancaman dan intimidasi selama masa persidangan. Salah satunya adalah potongan kepala anjing yang diletakkan di depan kantor Lembaga Bantuan Hukum Jayapura dengan sebuah pesan terikat di kepala tersebut dan berbunyi, “Paskalis/Pieter (nama-nama para pengacara pembela), ini adalah contoh kepala kalian, dari rakyat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).”
Frederika mengatakan baru bergabung menjadi pengacara Filep setelah mendapat izin. Perempuan yang lahir di Sorong Selatan pada 5 Februari 1975 ini merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung pada 1997.
“Saya dulu mendampingi dari aspek nonlegal karena saat itu saya belum jadi
lawyer. Saya sekarang baru mau bergabung. Saya mengenal Bapa Filep pada 2000. Sebelumnya waktu kuliah di Jawa, saya juga sudah tahu dari peristiwa di Biak. Saya juga tahu Bapak Filep karena bapaknya mantan Bupati di Papua.”
Saat ini Rika --sapaan Frederika-- masih menunggu tanggapan dari Kementerian Hukum dan HAM terkait surat pernyataan yang dilayangkan Filep pada awal Agustus. Ia berharap pemerintah Indonesia mengerti kondisi Filep Karma saat ini.
“Sejauh ini belum ada tanggapan dari Menteri Hukum dan HAM terhadap surat beliau. Ini kan surat langsung dari Bapa Filep, tapi ya mungkin nanti juga balasannya ke Bapa Filep langsung.”
Mungkin rupanya balasan dari menteri adalah remisi dasawarsa yang menyebabkan Filep harus bebas hari ini. Lebih dari 10 tahun Filep habiskan hidup dari balik jeruji. Masa yang sama juga dihabiskan para tameng hukum Filep.
(gir/sip)