Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki mengatakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan objek yang perlu disempurnakan namun memiliki tanggung jawab.
Sebagai orang yang dulunya turut merumuskan UU KPK, Ruki mengaku memang ada bagian yang perlu diperbaiki.
"Saya sebagai salah seorang yang membuat UU, ini tidak sempurna. Jadi sebaiknya dia menjadi obyek yang disempurnakan," ujar Ruki di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Kamis (19/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, keberadaan KPK menjadi salah satu harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga, penyempurnaan UU KPK diperlukan demi meningkatkan kinerja lembaga antirasuah ini.
Dia meminta revisi UU KPK dapat masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Menurutnya revisi yang nantinya dilakukan, bukan bermaksud melemahkan lembaga yang lahir di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri ini.
"Jangan jadikan UU KPK ini
untouchable. Revisi dilakukan untuk memperkuat," katanya.
Dalam rapat bersama komisi hukum DPR, Ruki menyebutkan beberapa pasal yang perlu penguatan. Pertama, berkaitan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Menurutnya, memang diperlukan audit penyadapan KPK. Namun, tidak sampai harus meminta izin pengadilan.
Kedua, berkaitan dengan pembentukan dewan pengawas KPK. Ruki setuju ada lembaga yang bertugas mengawasi kinerja lembaga antirasuah. Menurutnya, pengawas harus berada di luar struktur organisasi KPK.
Ketiga, berkaitan dengan kewenangan KPK mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3). Dia menolak penghentian penyidikan dan penuntutan umum hanya karena kurangnya alat bukti. Namun, dia menyetujui adanya SP3 bagi tersangka yang meninggal dunia atau struk berat.
Keempat, kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Ruki menilai KPK tetap memiliki kewenangan mengangkat penyidiknya.
(gir/gir)